Ketelitian, Prinsip dan sebuah Perjuangan

Pagi itu tidak begitu cerah. Mentari seolah malu-malu memancarkan cahayanya. Awan masih setia bergelayut di langit menutupi ganasnya sengatan matahari. Pagi itu aku berangkat menuju kota Solok menemani seorang guruku sesuai dengan janjiku dengan beliau setelah sempat dua kali tertunda. Dengan mengendarai motor keluaran Jepang, kami berangkat menuju kota Solok sekitar pukul 09.10 WIB dengan membawa sebuah harapan seraya mengaharap ridho yang Maha Kuasa setelah sebelumnya mampir dulu ke kantor POS dan mengisi bahan bakar di SPBU.

Motor mulai dipacu menyusuri setiap jengkal aspal hitam yang dihiasi oleh lobang-lobang akibat ulah para sopir truk yang selalu saja kelebihan muatan. Ditmbah lagi dengan debu-debu jalanan yang membuat perih mata.

Tidak terasa kami telah memasuki medan yang cukum menantang. Tikungan tajam dan dihiasi lobang serta aspal yang begelombang dan membuat motor tidak bisa berlari kencang. Pendakian yang terjal yang telah membuat motor kami kehilangan tenaga untuk berlari kencang. Belum lagi suara truk-truk pengangkut batu bara yang meraung-raug di pendakian serta jurang yang terjal di samping kanan jalan membuat aku yang mengemudikan motor saat itu harus ekstara hati-hati, karena jika lengah sedikit saja mungkin nyawa kami berdua yang akan jadi taruhannya. Tentu saja aku tidak mau kelalaian membuat diriku tamat kalimat di jalan raya dan mengisi sejarah perjalannan hidupku.

Udara dingin khas pegunungan telah terasa menerpa wajahku. Medan yang kami lalui juga tidak seekstrim tadi. Lobang dan aspal yang begelombang sudah berkurang. Motor jepang yang kami tunggangi tadi juga sudah mulai menemukan tenaganya lagi dan siap berlari kencang mengantarkan kami menuju kota Solok. Motor dengan tenaga penuh meliuk-liuk di tikungan menyusuri aspal yang hitam. 


Sejurus kemudian setelah melewati sebuah tikungan aku dan guruku dikejutkan dengan segerombolan polisi lalu lintas yang tengah razia. Mereka menghetikan setiap mobil dan beberapa motor yang lewat. Untung saja kami bukan salah satu di antara pengendara yang dihentikan dan tidak perlu mendengarkan sapaan khas pak polentas berikut beberap pertanyaan klsiknya. Biasanya polisi itu akan menyapa dengan sapaan seperti ini, “selamat siang pak, maaf menganggu perjalanannya”. Dan biasanya sapaan tersebut juga akan dilenjukan dengan sebuah pertanyaan yang masih juga tetap klasik karena tidak pernah diubah redaksinya dari dulu. Pertanyaan seperti ini, : ”bisa diperlihatkan SIM dan STNKnya pak?” dan jika sedang malang sapaan dan pertanyaan klasik tadi juga akan bisa berangkai dengn beberapa pertanyaan lain dan tidak jarang berujung pada selembar surat tilang tau tawar menawar hukum bak menawar kipas angin bekas di pasar loak.


Melintasi gerombolan polisi itu motor ku pacu saja dengan gontai sembari memperhatikan mereka menananyi pengendara yang mereka hentikan. Motor terus ku pacu dengan kecepatan sedang dan sesekali-kali meliuk menyalip beberapa truk batu bara yang beriring rapi bagaikan itik pulang senja yang berjalan gontai. Perjalanan terus berlanjut sembari kami bercengkrama tentang berbagai hal termasuk pemandangan yang baru saja kami lihat tadi. Di sela-sela cengkrama kami aku sempat menanyakan tentang kelengkapan surat-surat motor. STNK ada, dan SIM pun sudah di tangan. Tidak ada lagi yang perlu dirisaukan, begitu batinku bergumam.


Namun, belum selesai kami berbincang soal peandangan tadi, aku dan guruku sudah dikejutkan dengan sekelompok polisi berseragam lengkap sedang mengelar razia dan lebih banyak dari yang kami temukan sebelumnya. Kali ini semua kendaraan diberhentikan oleh mereka tak terkecuali motor yang kami tunggangi. Karena merasa lengkap, dengan pedenya akupun segera menepi dan berhenti. Lalu seorang polisi mengahampiri kami dan mengucapkan salam klasik seperti yang ku sebutkan tadi.


Aku segera menunjukan SIM dan STNK. Dipandangnya SIM dan STNK tersebut sembari sesekali dia melihat ke arah wajahku, seolah ingin mencocokkan foto yang ada di SIM itu adalah aku. Dan sayangnya aku dan guruku adalah salah satu dari orang yang sedang tidak beruntung kala itu dan harus mendapatkan pertanyaan lain dari polisi tersebut. Ternyata lampu rem motor yang kami kendarai warnanya bening dan itu menyalahi.


“Ini kenapa kok lampu remnya bening?”, begitu pak polisi berseragam lengkap dengan tanda pangkat di bahu menanyaiku. Aku diam saja dan mengerenyitkan dahi, tidak tahu mau jawab apa.


“Mari kita selesaikan di sana!”, ajaknya sambil menunjuk sebuah mobil patroli. Bagai kerbau yang ditusuk hidungnya aku mengikuti polisi itu. Selembar surat tilang dikeluarkanya. Dan aku masih saja tetap diam. Sebelum dia menulis surat tilang tersebut masih sempat aku melihat tatapan wajah polisi berpangkat briptu ──yang belangkan aku ketahui dari selembar surat tilang yang aku terima── kepada kami seolah mengisyaratkan kami mau melakukan tawar menawar hukum dengannya. Namun kami tidak melakukannya dan hanya diam menungu dia selasai menulis surat tilang.


Sambil menunggu pak polisi itu selesai menulis, di dalam diam aku mengutuk diriku. Kenapa aku tidak pastikan kalau motor yang kami bawa itu aman. Aman dari resiko kecelakaan dan aman dari razia polisi. Ya, begitulah kekhilafan dan kecerobohanku. Andai saja aku mengamalkan dan tidak mengabaikan sebuah kata “ketelitian” yang sering diteriak-teriakan di depan kelas oleh guruku kala aku masih memakai seragam sekolahan dulu, muungkin saja hal itu tidak akan terjadi dan kami tidak perlu berurusan dengan polisi dan harus mengikuti siding seminggu setelahnya. Ternyata sebuah ketelitian memang sangat penting dalam hidup ini. Satu pelajaran yang dapat aku petik, jangan sekali-kali abaikan kata-kata “ketelitian” jika kamu tidak mau berurusan dengan polisi dan harus mengiuti sidang. Ketelitian adalah kata sederhana yang jika diabaikan akan membuat masalah bagi yang mengabaikannya.


Setelah menyelesaikan semuanya dan menerima selembar surat tilang dari polisi berpangkat briptu tadi, kami kemudian melanjutkan perjalanan kembali. Di jalan aku bertanya kepada guruku.


“Ustadz──begitulah aku dari dulu memanggil beliau── kenapa tidak dikasih uang saja dan kita tidak usah repot-repot lagi ke solok untuk sidang”, ujarku. 


Dengan tenang beliau menjawab, “ini adalah masalah prinsip, bukan soal uang dan waktu. Ustadz, hanya tidak ingin melangar prinsip yang telah jadi harga mati dan tidak bisa ditawar lagi. Kita pernah menulis tentang itu, tidak mungkin bukan kita sendiri yang akan melanggarnya? Jika berbicara saja lalu dilanggar maka akan diganjar dengan “kaburamaqtan” sebagaiman yang telah termaktub di dalam al-qur’an, apa lagi yang kita tulis dan kemudian kita sendiri yang melanggar di mana semua orang bisa membacanya ”. Aku hanya mengangkuk takzim sembari tetap fokus mengendarai motor yang kami tunggangi.


Satu hal lagi pelajaran yang aku dapatkan di jalan raya Padang-Solok, tentang arti sebuah “prinsip”. Kadang untuk menegakkan sebuah prinsip yang kita buat kita butuh sedikat atau mungkin saja pengorbanan yang banyak. Seperti yang telah kami──Aku dan guruku── alami ini. Kami harus rela ikut ikut sidang dan kembali merogoh kocek untuk biaya trasportasi kami ke Solok seminggu setelahnya serta merelakan waktu kami untuk itu semua. Namun satu keyakinan dalam hatiku, bahwa Tuhan tidak akan sia-sia dengan semua itu. 


Dan pelajaran yang paling berharga dari semua yang telah aku alami itu adalah tentang sebuah harapan untuk menuju kesuksesan itu tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Semua butuh proses dan perjuangan serta pengorbanan. pengorbana uang, waktu, dan pikiran serta perasaan. 


Sukses tiada mungkin tanpa perjuangan, tanpa pengorbanan dan tanpa istiqamah.



*Oleh: Heru Perdana P──Sebuah Catatan──

Label:

0 komentar:

Posting Komentar

MOhon kritik dan sarannya..!!

Search

Tentang Saya

Foto Saya
Heru Perdana
Menulis adalah sarana pembebasan jiwa
Lihat profil lengkapku

Add Me on Facebook

Download

Download ebook gratis Download ebook gratis

Blog Info

free counters
Powered by  MyPagerank.Net

Followers