Pulang Kampung yang "Dramatis"

Mentari tak juga kunjung memancarkan sinarnya, masih saja bersembunyi malu-malu di balik gelapnya awan hitam yang mengucurkan air untuk membasahi bumi. Hari ini genap sudah empat hari hujan turun tanpa henti. Itu artinya sudah empat hari juga aku merindukan hangatnya sinar matahari. Mungkin tidak hanya aku, banyak juga orang di luar sana yang merasakan hal yang sama dengan diriku. 

Rintikan hujan kadang memang bisa menghibur jiwa yang sedang gundah. Hujan yang menitik membasahi bumi tak jarang menjadi hiburan tersendiri bagi sebahagian orang. Tapi jika sudah begini keadanya, siapa lagi yang akan terhibur dengan turunnya hujan? Jujur saja, bahkan aku sendiri sudah mulai agak muak dengan guyuran hujan ini. Rindu rasanya hati ini dengan hangatnya sinar matahari pagi, hangatnya terik mentari di kala siang dan rona keemasan di ufuk barat sana ketika mentari sudah mulai masuk ke peraduannya.

Masih segar dalam ingatanku bagaimana genangan banjir menghadang perjalanan pulang menuju kampung halaman kemarin sore. Hampir saja surut niatku untuk pulang kampung melihat genangan banjir “oleh-oleh” dari langit yang tak kunjung surut kala itu. Kalau saja tidak karena ingin merayakan hari raya qurban bersama keluarga di kampung yang tahun kemarin tidak sempat aku rasakan, mungkin saja aku dan adikku segera balik kanan dan kembali ke kota Padang. Siapa yang tak ciut hatinya menunggu banjir yang mengenangi jalan setinggi pinggang orang dewasa. Belum lagi gelapnya gulugan awan hitam di hulu sana yang siap menumpahkan ribuan gallon air ke bumi, ranah tumpah darahku.

Kalau boleh sedikit ber-lebay-lebay, maka pulang kampung kali ini adalah pulang kampung yang pailing dramatis sepanjang sejarah kehidupanku. Tidak berlibihan rasanya pernyataan seperti itu aku lontarkan jika kawan ikut merasakan bagai mana rasanya menahan perut lapar sambil menunggu banjir yang tak kunjung surut. Mungkin tidak akan menjadi lebay jika kawan tahu bagaimana rasanya menunggu hampir lima jam di tengah rintikan hujan dan dinginnya hembusan angin malam yang menusuk tulang.
Untung saja aku tidak hanya berdua dengan adikku menikmati prosesi pulang kampung yang dramatis itu. Ada puluhan mahasiswa rantau lainnya yang bertujuan sama dengan aku dan adikku terjebak menunggu surutnya banjir yang mengenangi jalan menuju kampung kami. Hanya gelak canda yang sedikit bisa menghangatkan badan kami kala itu. Suasana senja hingga malam itu hanpir mirip dengan acara reunian para alumni SD, hanya saja tidak ada makanan dan orgen tunggalnya.

Kawan, sekali lagi aku bertanya, jika sudah seperti ini keadaannya apakah hujan ini masih manjadi berkah dan hiburan buat kita? Aku rasa jawaban yang paling pas untuk saat ini adalah “tidak”. Aku juga berani bertaruh bahwa kawan akan sepakat dengan jawabanku ini, jika kawan ikut menjadi salah satu rombongan yang menunggu banjir surut, dengan baju basah dan dalam keadaan perut kosong. Belum lagi gelapnya malam karena mati lampu menambah syahdunya suasana di malam itu. Nah, kalau sudah begini saya rasa sangat sulit memberikan jawaban “iya” terhadap pertanyaanku tadi.

Tapi malam itu aku dan segenap rombongan tetap saja sabar menunggu air surut. Mungkin alasan terkuat yang membuat kami tetap bertahan dalam kondisi yang memprihatinkan itu adalah keinginan untuk bisa merayakan hari raya Qurban bersama keluarga di kampung halaman. Kalaupun ada alasan lain, namun ini adalah alasan utama yang memeberikan semangat tersendiri dalam penantian kami kala itu.

Jujur saja kawan, apa yang kami rasakan ini belum seberapa ketimbang saudara-saudara kita yang ada di belahan Pesisir Selatan arah ke selatan sana. Kami mungkin hanya terhalang untuk lewat ke rumah. Sementara mereka di sana sudah kehilangan rumah dan bahkan kehilangan anggota keluarga. Sungguh musim hujan kali ini telah memancing isak tangis sebahagian besar masyarakat Pesisir Selatan menjelang hari raya qurban.

Hampir lima jam berselang, akhirnya penantian kami berbuah hasil. Air yang menghalangi jalan kami berlahan sudah mulai surut. Hujan telah berhenti. Satu persatu mobil yang ikut dalam barisan rombongan menunggu banjir surut sudah mulai jalan. Namun kami yang mengendarai sepeda motor belum bisa berbuat apa-apa, karena genangan air masih cukup dalam untuk ukuran sepeda motor. Bersabar dan tetap menunggu, hanya itu yang dapat kami lakukan.

Hingga akhirnya penantian kami pun berbuah manis. Air surut dan sepeda motor sudah bisa lewat. Bukan kepalang rasanya girang hati ini, ketika jalan menuju rumah sudah bisa ditempuh. Aku pacu sepeda motorku menerjang genagan banjir yang masih tersisa di jalan. Alhamdulilah, Terimakasih ya Allah, sepenggal kalimat itu terbersit di lubuk hatiku yang paling dalam ketika melalui jalan yang masih digenangi air itu. Mungkin kawan-kawanku yang lain juga merasakan hal yang sama denganku.

Satu pelajaran yang bisa aku dan kita semua petik untuk saat ini, bahwa segala sesuatu yang berlebihan itu tidak akan menjadi baik, dan bahkan akan merusak. Apapun itu, jika berlebihan pasti tidak akan baik. Tidak terkecuali dengan hujan. Hujan jika turun dengan porsi yang pas mungkin akan menjadi berkah buat kehidupan kita di bumi Allah yang elok ini. Akan tetapi, jika sudah berlebihan maka hujan akan menjelma menjadi sebuah bencana atau teguran buat kita. Seperti yang tengah aku, adiku dan segenap warga Pesisir Selatan alami saat ini.

Namun terlepas dari itu, ini adalah teguran Allah kepada kita. Mungkin saja kita sering lupa dan khilaf serta berbuat salah. Allah telah menegur, maka segeralah introspeksi diri dan berubah ke arah yang lebih baik untuk masa yang akan datang. Semoga saja kita cukup cerdas untuk mengambil hikmah di balik bencana ini. Yakinlah, apapun yang terjadi di bawah kolong langit Allah ini tidak mungkin terjadi tanpa sebuah hikmah. Lihat, rasakan dan renungkan, lalu ambil hikmahnya.

Pesisir Selatan, 05 November 2011
-Ditulis sehari menjelang hari raya qurban dalam kondisi hujan dan banjir masih mengenangi jalan-

[ Selengkapnya...]
Label:

Hujan Menjelang Hari Raya Qurban

Beberapa hari ini hujan tak pernah bosan membasahi bumi pertiwi. Seolah persedian air di langit sana tak pernah habis untuk dikucurkan ke bumi. Sudah lama aku dan penduduk lainnya di negeri ini tak menyaksikan indahnya matahari di kala pagi, dan juga sudah lama kami tak merasakan hangatnya sengatan mentari pagi. Sudah rindu rasanya hati ini dengan panasnya terik matahari di kala siang.

Hujan menjelang hari raya Qurban ini telah meninggalkan kenangan yang sangat tidak enka buat warga di kampongku, kawan. Hujan ini telah merendam dan mengenangi kampong kami dengan banjir ini. Banjir yang telah menelan korban. Tidak hanya korban materi, tapi juga korban nyawa. Sedih memang mendengar berita ini, tapi ini suka atau tidak suka, mau atau tidak mau ini adalah bagian dari teguran Allah buat kita hambaNya yang sering lupa dan salah.

Entah apa yang salah, yang jelas banjir itu telah datang dan merendam segenap ranah kelahiranku dan juga telah berhasil merenggut beberapa nyawa. Itu artinya akan ada beberapa anak yatim atau piatu baru di kampungku setelah ini. Maungkin juga akan ada orang tua yang akan kehilangan anaknya. Tapi, semuanya telah terjadi kawan. Menyesalpun sudah terlambat. Satu hal yang bisa kita lakukan hanyalah intropeksi diri dan mulai memperbaiki kesalahan. Yakinlah, Allah tidak mungkin menegur kalau kita tak salah.
Tuhan, marahkan Engkau kepada kami.???

Padang, 04 November 2011


[ Selengkapnya...]
Label:

Search

Tentang Saya

Foto Saya
Heru Perdana
Menulis adalah sarana pembebasan jiwa
Lihat profil lengkapku

Add Me on Facebook

Download

Download ebook gratis Download ebook gratis

Blog Info

free counters
Powered by  MyPagerank.Net

Followers