“Aku Bersyukur Hal itu Pernah Terjadi”

Hari itu hujan mengguyur bumi pertiwi dengan sangat deras dihiasi tiupan angin yang agak kencang. Praktis suasana terasa sedikit dingin dan membuat aku malas untu beraktifitas. Dalam suasana seperti itu, akupun duduk termenung dan entah kenapa pikiranku berkelana ke masa lalu dan terdampar pada sebuah bayangan peristiwa yang cukup berkesan dalam hidupku. Sebuah peristiwa yang belakangan ini aku syukuri pernah aku alami kala itu. Kalau saja peristiwa itu tidak terjadi entah bagaimana kehidupanku saat ini.

Tentu kawan bertanya, sebanarnya peristiwa apa yang terlitas di benakku saat itu. Perisitiwa itu adalah kejadian di mana ketika itu aku dan beberapa kawanku dihakimi oleh beberapa orang ustadz karena perkara merokok yang sudah jelas-jelas dilarang keras dilakukan di lingkungan pondok pesantren tempat aku bersekolah ketika itu. Walaupun begini keadaanku kawan, setidaknya aku dulu pernah menjadi seorang santri di sebuah pondok pesantren.

Pada saat itu usiaku memang sangat muda dan boleh dikatakan berada pada fase kanak-kanak akhir atau remaja awal. Pada usia itu adalah wajar rasanya ketika kita ingin mencoba untuk melakukan sesuatu yang baru. Dan bodohnya aku waktu itu mencoba hal yang dilarang oleh aturan kehidupan di pondok pesantren. Sehingga hasilnya jadilah aku terdakwa di depan para ustadz yang sudah siap menjatuhkan beberapa hukuman kepada aku dan beberapa kawanku terkait pelanggaran yang kami lakukan.

Masih segar dalam ingatanku, ketika itu aku dan beberapa temanku tengah mengikuti kegiatan belajar di kelas setelah shalat magrib. Tiba-tiba datang seorang teman memanggil aku dan beberapa kawanku yang lain. Setelah mendapat izin dari ustadz yang mengajar ketika itu, kami pun keluar dan segera menuju ke mesjid pondok pesantren. Di sana sudah berdiri beberapa orang ustadz yang sudah siap mencerca kami dengan beberapa pertanyaan tentunya dengan nada yang sangat keras layaknya orang yang sedang marah.


Baru saja kami sampai di hadapan para ustadz itu, setelah berbaris dengan rapi layaknya para tentara yang sudah siap menerima perintah dari sang komandan, langsung saja dua buah tamparan bolak balik dengan sebuah peci mendarat dengan indah di kedua belah pipi kami, para terdakwah. Ah, rasanya tamparan itu seperti ucapan selamat datang saja kepada kami para pelanggar aturan pesantren saat itu. Namun bagaimana pun itu, tetap saja adalah sebuah wujud kasih sayang dari seorang guru kepada muridnya agar para murid tahu dan tidak mengulangi kesalahannya.

Setelah menerima tamparan selamat datang, masing-masing dua kali, selanjutnya kami dihadiahi satu batang rokok yang tidak boleh dipegang dengan tangan dan juga tidak boleh terlebas dari bibir kami. Kemudian pada akhir episode sidang kesalahan kami, rokok itu harus kami kunyah dan tahan beberapa saat dalam mulut. Kawan tentu bisa bayangkan bagaimana rasanya mengunyah tembakau dan menahannnya dalam mulut beberapa saat. Sulit diungkapkan dengan kata-kata, yang jelas dengan mengunyah tembakau itu cukup membuat selera makanku tak enak selama tiga hari.

Menyesal, tapi sudah terlambat. Dan tidak penyesalan namanya kalau tidak datang di akhir. Semenjak kejadian itu aku berjanji dalam hati kecilku bahwa aku akan berusaha untuk sekuat tenaga tidak menghisap lagi benda selinder berukuran sekitar delapan centi meter barnama rokok itu. Alhamdulilah sejauh ini komitmen tersebut masih tetap terjaga dan aku berharap akan bisa selalu terjaga sampai akhir hayatku. Aku akui bahwa menjaga komitmen itu sangat sulit karena aku hidup di lingkungan para pengemar setia benda selinder itu. Tapi tak maslah, aku akan berusaha.

Sekali lagi aku katakan kawan, bahwa aku bersyukur mengalami kejadian seperti yang telah aku utarakan di atas tadi. Bagaimana tidak, menurut pengamatanku rata-rata kawan-kawanku yang merokok menghabiskan satu bungkus rokok dalam satu hari. Jika saja kita asumsikan harga satu bungkus rokok sepuluh ribu per bungkus, itu artinya mereka harus mengeluarkan uang sebesar tiga ratus ribu rupiah perbulan dan tiga juta enam ratus ribu selama satu tahun hanya untuk rokok, benda selinder berbahan dasar tembakau.

Coba kawan bayangkan, jika saja mereka tidak merokok mungkin uang yang tiga ratus ribu rupiah itu bisa mereka pergunakan untuk membeli buku, baju, atau keperluan lainnya. Bisa saja uang itu mereka tabungkan dan membatu kawan yang tengah kesusahan dalam hal keuangan dalam bentuk pinjaman. Nah, menyadari hal ini lah, tidak berlebihan rasanya jika aku bersyukur dengan apa yang pernah aku alami delapan tahun yang silam.



*Padang, 20 Desember 2011

[ Selengkapnya...]
Label:

Search

Tentang Saya

Foto Saya
Heru Perdana
Menulis adalah sarana pembebasan jiwa
Lihat profil lengkapku

Add Me on Facebook

Download

Download ebook gratis Download ebook gratis

Blog Info

free counters
Powered by  MyPagerank.Net

Followers