Anak Petani dan Sebuah Cita-cita


Pagi itu masih saja seperti pagi-pagi sebelumnya. Udara yang dingin ala perbukitan tetap terasa menusuk tulang. Kicauan burung di pohon kedondong di samping rumah seorang petani menambah syahdunya pagi itu. Embun di halaman rumah belum juga kering, dan mentari masih saja seperti malu-malu bersembunyi di balik bukit menandakan hari masih sangat pagi untuk mulai beraktivitas.

Namun,di sebuah rumah di tepi sawah telah terjadi aktivitas kehidupan jauh sebelum fajar menyingsing. Di rumah sederhana namun asri itu telah berlangsung rutinitas sehari-hari layaknya keluarga petani. Seorang ibu telah mulai menanak nasi,memanaskan air dan menyeduh teh tanpa di saring untuk seorang lelaki kepala keluarga yang tengah asik membaca sebuah buku bertulisan arab melayu tanpa baris duduk di sebuah kursi kayu usang di dekat jendela sembari menunggu  segelas  teh panas buatan sang istri, sebelum berangkat menuju kebun karet, tempat  beliau mengais rezeki untuk keluarga.  Begitulah kebiasan laki-laki yang tidak tamat sekolah rakyat dan menyukai ilmu serta menghargai pendidikan itu. 
Sementara di sebuah kamar sederhana berdindingkan papan namun ditata dengan apik seorang anak gadis, Wati begitu orang biasa memanggilnya tengah bersiap-siap  berangkat ke sekolah untuk menerima ilmu dari guru di sebuah sekolah sederhana di tepi sungai yang tidak terlalu jauh dari rumah petani tadi. Sebuah sekolah Madrasah Ibtidaiyah Swasta yang dibangun dengan swadaya dari penduduk sekitar. Dan untuk masuk ke sekolah itu Wati juga hanya diantarkan oleh pamannya. Meskipun sangat sederhana dan jauh dari kata “mewah”,akan tetapi anak sulung dari petani itu tetap semangat dalam menimba ilmu penegtahuan. Agaknya kecintaan terhadap ilmu dari seorang lelaki petani yang tidak sempat menamatkan sekolah rakyat itu telah mengalir deras dalam darah anak gadis kecil nan ayu itu. Seorang anak gadis yang diharapkan akan menyambung asa keluarga.

Mentari sudah merangkak naik meninggalkan peraduannya, suasana kampung pun telah  telah ramai oleh hilir mudik petani yang akan pergi ke sawah dan ladang serta beberapa orang anak sekolah yang akan berangkat sekolah seperti halnya si Wati, karena memang tidak semua anak yang sekolah di kampung itu. Jujur saja kesadaran akan pentingnya  pendidikan di kampung yang dikelilingi oleh bukit itu masih sangat rendah. Lebih banyak orang tua yang menyuruh anaknya pergi ke sawah dan ladang ketimbang ke sekolah untuk menuntut ilmu. Karena memang kalau ke sekolah tidak langsung menghasilkan uang dan bahkan harus mengabiskan uang. Lain halnya dengan ke sawah, ke ladang atau mengembala ternak yang langsung dalam waktu dekat dapat dilihat hasilnya, dengan kata lain lebih cepat menghasilkan uang. Begitu menurut pemahaman mereka. Bahkan mereka beranggapan lebih baik menanam kelapa dari pada menyekolahkan anak. Ah, sebuah pemahaman yang sangat keliru.

Agaknya kondisi seperti itu dipicu oleh susahnya dan  keterbatasan keadaan ekonomi mayarakat di kampung itu. Sebuah kampung yang asri namun masih jauh dari yang namanya kemajuan teknologi. Jangankan untuk mengenal teknologi, untuk membicarakannya saja bibir mereka masih kaku. Program pemerintah untuk listrik masuk desapun belum menyentuh kampung itu. Sehingga akses informasi juga agak sulit untuk sampai kepada mereka.  Jadi tidak heran jika pemahaman masyarakat seperti itu di kampung terebut. Namun keadaan demikian tidak membuat Aminah surut untuk menuntut ilmu dan mengapai cita-citanya.

***

Enam tahun sudah Wati menimba ilmu di Madrasah Ibtidaiyah Swasta dengan segala kesederhanaannya. Sekarang tiba saatnya Wati  harus melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Sebuah SMP yang berjarak belasan kilo meter dari kampungnya adalah pilihannya. Jarak yang cukup jauh dengan keadaan transportasi yang terbatas saat itu dan diperburuk dengan kondisi jalan yang sangat meprihatinkan. Jika hujan jalan itu sangat sulit sekali dilalui oleh sepeda. Namun, keputusan itu harus diambil Wati demi sebuah cita-cita untuk penghidupan yang lebih baik di masa yang akan datang. Buntut dari pilihanya itu Wati harus siap berangkat pagi-pagi sekali di saat mata hari belum keluar dari peraduannya. Untuk berangkat sekolah Wati harus mengunakan senter dan dibonceng oleh temannya yang juga wanita.

Tiga tahun Wati menimba ilmu dalam balutan suka dan duka di SMP pilihannya itu. Tiga tahun juga dia harus berangkat sekolah setelah subuh di mana hari masih gelap dan suasana kampung masih sunyi. Walaupun jauh, namun pantang baginya untuk terlambat masuk ke sekolah. Kondisi seperti itulah yang telah membuat seorang Wati jadi gadis remaja yang memiliki keinginan kuat bagaikan karang di lautan untuk mengapai cita-cita dan kesuksesan. Cita-cita dan kesuksesan baginya meskipun hidup bergelimang kesederhanaan adalah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi.

Wati telah menamatkan pendidikannya di SMP pilihannya. Itu artinya, demi sebuah cita-cita ia harus melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. Setelah merundingkan rencananya dengan ayahnya──sang petani──tadi, maka dapatlah kata sepakat bahwa ia harus melanjutkan sekolahnya di sebuah SMA dua lapis bukit dari kampungnya, yang berjarak sekitar tiga puluh kilo meter dengan jalan yang sangat meprihatinkan dan sulit untuk dilalui kendaraan. Dengan keadaan seperti itu Wati dan ayah serta ibunya sepakat kalau Wati harus tinggal di sebuah rumah penduduk ──ngekos istilah sekarang── di dekat SMA pilihannya tersebut. Hal itu dilakukan mengingat biaya dan waktu yang terlalu banyak terpakai jika Wati harus berangkat dari rumah. Alhasil terpaksa Wati harus berpisah dari Ayah, Ibu dan adik-adiknya untuk sementara dan hanya bertemu sekali seminggu, itupun jika memungkinkan. Tapi tidak mengapa, demi sebuah cita-cita Wati dan keluarganya rela.

Memasuki tahun kedua Wati di SMA itu, badai kesusahan mulai membuat oleng biduk kehidupannya dan nyaris saja membuat dia tamat paksa dari SMA itu. Permasalahannya tidak jauh dari masalah uang, karena hasil pertanian  memang agak merosot kala itu. Namun, untunglah Wati bukanlah sosok wanita yang bermental kerupuk, dengan tekad yang sudah bulat dia tetap bersikeras untuk tetap melanjutkan sekolah. Wati sudah terlanjur mengantungkan sebuah cita-cita dan baginya tiada kata surut untuk itu semua.

“sekali layar terkembang pantang untuk surut kembali”, begitu prinsipnya.
 Walaupun dia harus menaggung resiko dibekali uang belanja seadanya. Hanya beras yang agak banyak yang bisa dibawanya. Selaku anak sulung dari seorang petani miskin Wati cukup tau diri dan rela berbagi uang belanja dengan beberapa orang adiknya yang juga sekolah, karena kondisi ekonomi sangat sulit pada masa itu.

Dengan segala keterbatasan akhirnya Wati bisa juga menamatkan pendidikan di SMA. Berlinang air mata pak Tani melihat selambar kertas bertuluskan angka-angka, yang lebih banyak dipenuhi oleh angka Sembilan dan delapan yang dipersembahkan oleh anaknya. Segala harapan keluarganya dijawab lunas dengan selembar ijazah dengan nilai yang bagus oleh Wati.

Di tengah kebahagian yang dirasakan Wati dan keluarganya, terselip sebuah kegetiran dan kegusaran. Wati gusar kalau-kalau dia tidak dapat melanjutkan pendidikan yang sangat diidam-idamkannya. Setali tiga uang, sang ayah juga merasakan hal yang sama dengan Wati. Ditatapnya anaknya dalam-dalam. Tampak jelas di mata lelaki itu gurat kegalaun dan kebimbangan. Ia bangga punya anak dengan cita-cita tinggi dan di sisi lain himpitan ekonomi cukup keras medera keluarga itu yang membuat sang ayah ragu dapat mewujudkan cita-cita anaknya.
***

Senja telah merayap menyelimuti desa yang dilalui sungai Batang nyiur itu. Mata hari telah lama bersembunyi di balik bukit dan kembali ke peraduannya. Di beranda rumah nan sederhana, terlihat sesosok gadis termenung dengan penuh harap. Berharap ada keajaiban dan perubahan nasib baginya. Tanpa di sadari oleh sang gadis di balik pintu ada sepasang mata yang tengah mengamati dan meprihatikannya dengan tatapan nanar. Dialah ibu Wati yang sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk masa depan anaknya. Lama Ia memperhatikan anaknya, hingga akhirnya dikuatkan hatinya untuk menemui anaknya dan berbicara dari hati ke hati dengan anaknya.

“Apa lagi yang Kau pikirkan nak”, sapa beliau sambil duduk di samping Wati. “bukannya nilai ujianmu sudah sangat bagus, dan kami bangga denganmu”, sambung ibu tadi.

Wati mengankat wajahnya, butiran hangat meleleh dari sudut matanya. Ia tatap wajah ibunya dalam-dalam dan berkata, “iya Ibu, tapi itu belum cukup. Aku ingin melanjutkan pendidikanku. Aku ingin mengapai cita-citaku”.

Digengamnya tangan Wati oleh ibunya, “ibu mengerti perasaanmu nak, tapi apa boleh buat keadaan kita sangat susah saat ini. Lihatlah tiga orang adikmu juga butuh biaya untuk sekolah”. Ibu itu berhenti sejenak dan menhela nafas, lalu melanjutkan ucapannya, “bukankah sekolahmu itu sudah cukup tinggi untuk ukuran anak-anak seusiamu di kampung kita ini”.

“kamu bisa belajar menjahit dengan etek Inur, seperti kawan-kawanmu yang lain”, imbuh ibu itu.

Tak kuasa Wati menahan tangisnya, meledaklah tangis anak gadis yang memiliki cita-cita tinggi itu di pangkuan ibunya. Di sela-sela tangisnya Wati masih sempat berkata yang lebih cocok disebut permohonan seorang anak kepada ibunya,

“Ibu, tolonglah! Aku hanya ingin melanjutkan sekolahku. Kalau masalah belajar menjahit, bisa aku lakukan jika aku libur kulaih”, ucap Wati setengah berharap.

Lama mereka hanyut dalam lamunan masing-masing. Suasana hening, hanya terdengar sesekali suara jangrik dan katak sawah yang saling bersahutan. Dua anak beranak itu tetap saja tengelam dalam awan pikiran mereka masing-masing. Hingga akhirnya lantunan azan isya yang terdengar dari tua usang musahalah yang berada tidak jauh dari rumah Wati.

“sudah masuk waktu isya, mari kita shalat dulu. Nanti kita bicarakan lagi masalah ini dengan ayahmu”, ibu itu berkata sambil berdiri dari tempat duduknya dan mengajak Wati masuk ke dalam rumah.

Wati mengikuti dengan gontai langkah ibunya, lalu langsung menuju ke sumur dan mengambil whudu’. Malam itu mereka tidak shalat  berjemaah karena sang ayah sedang tidak di rumah. Setelah shalat, Wati berdo’a dan bermunajat kepada Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih agar keinginan dan cita-cita yang telah lama ia rajut dapat terwujud. Lama ia membenamkan kepalanya dalam sujud setelah berdo’a.

Wati tersentak oleh panggilan ibunya. Dibukanya mukenah yang ia kenakan tadi dan segera berjalan menuju daput tempat ibunya memangigl tadi. Ibunya menyuruh Wati makan.

“Makanlah dulu, jangan terlau Kau pikirkan masalah tadi. Nanti kita bicarakan lagi dengan ayahmu”, suara ibu menghibur Wati sambari menyodorkan sebuah piring ke tangannya.

“ya bu”, jawab Wati pelan dan mengambil piring dari tangan ibunya.

Jelas sekali Wati tidak ada selara makan waktu itu. Selera makannya menguap entah ke mana. Lama ditatapnya saja nasi yang ada di piringnya dengan tatapan nanar dan dalam yang menyimpan sebuah harapan. Dadanya sesak, batinya berkecamuk antara realita hidup dan sebuah cita-cita yang telah terpatri di hatinya.

“Makan lah dulu!”, ibunya kembali menegur.

Dengan susah payah akhirnya bisa juga ditelan habis nasi yang ada di piringnya itu. Setelah mencuci semua piring dan membereskan dapur, Wati segera masuk kamar dan membaringkan diri di tempat tidur. Sudah beberapa kali ia coba memajamkan mata, dan sebanyak itu pula ia gagal melakukannya. Percakapannya dengan ibunya di beranda rumah tadi masih terngiang jelas di telinganya. Sementara di sisi lain, waktu  pendaftaran kuliah hanya tinggal satu minggu lagi.

Sampai sepertiga malam terakhir matanya juga tidak kunjung terpejam. Wati bangkit dari pembaringannya, dan berjalan menuju ke sumur di belakang rumahnya. Dia berwudhu’ dan kembali ke kamarnya lalu mengambil mukenah dan kain sarung yang terlipat di atas meja di sudut kamarnya. Dia bersiap bermunajat kembali kepada Allah. Ia ingin mengadukan semua kegalauan hatinya kepada Tuhan. Berharap Tuhan mendengar lalu mengabulkan keinginannya.
***

Pagi itu setelah membersihkan rumah, Ibunya memanggil Wati ke baranda rumah. Seperti kerbau yang ditusuk hidungnya Wati berjalan di belkang ibunya menuju beranda rumahnya. Di mendapati ayahnya telah duduk menunggunya di sana ditemani segelas teh hangat tanpa disaring.

“Duduklah, ayah ingin bicara denganmu”, begitu ayahnya membuka pembicaraan sembari menghisap rokok tanpa filter dan mengepulkan asapnya.

“Ada apa ayah?”, Wati bertanya dan duduk di samping ibunya.

“ini soal sekolahmu”, sambil menguk teh hangat  ayahnya menjawab.

“Ayah dan ibumu sudah sepakat dan putuskan untuk tetap mengizinkan kamu untuk melanjutkan kuliah. Kejarlah impianmu nak, buat kami bangga telah memiliki anak sepertimu”, ujar sang ayah sambil memegang kepala anak gadisnya itu.

“Benarkah itu Ayah?”, Tanya Wati seolah tak percaya.
“iya, benar”, ayahnya mengangguk.

Tak terasa butiran hangat mengalir dari sudut mata Wati. Kali ini bukan air mata kegalauan lagi, tapi adalah aliran air mata kebahagiaan. Sungguh tak terkira girangnya hati Wati mendengar ucapan ayahnya. Batinya bersorak gembira. Burung gereja di batang kedongdong juga ikut bernyanyi seolah turut merasakan getaran kebahagiaan dari batin sorang anak gadis petani miskin, seorang petani yang menyadari betapa pentingnya sebuah pendidikan.

Pagi itu adalah pagi yang sangat bersejarah dalam sejarah hidup Wati. Sekaligus merupakan pagi yang menentukan masa depannya. Allah telah mengijabah do’a yang dipanjatkan seorang anak petani yang memiliki  sebuah cita-cita. Do’a dan usahanya membuahan hasil. Belum selesai Wati meluapkan kebahagiannya, terlintas lagi sebuah persoalan di pikirannya. Lalau ia bertanya kepada ayahnya.

“ayah bagaiman dengan biaya masuk kuliah yang cukup besar untuk ukuran keluarga kita itu”, Tanya Wati kepada ayahnya.

Dengan sedikit senyuman tersunggging di bibir ayahnya menjawab,”Tidak usah kau pikirkan itu, ayah telah persiapkan semuanya. Ayah akan jual sapi kita, dan jika kurang akan ditambah dengan sedikit tabungan ibumu”.
Ibunya hanya tersenyum dn mengangguk tanda setuju dengan ucapan ayahnya.
***

Dengan berbekal uang seadanya, Wati berangkat menuju kota bersama ayahnya untuk mendaftar di sebuah kampus dan menjemput impiannya. Dengan menumpang sebuah truk pengangkut padi ayah dan anak gadisnya itu bertolak meninggalkan kampung mereka.  Dengan mata berbinar Aminah menatap ayahnya. Dalam tatapannya terguratsebuah ucapan terimakasih kepada ayahnya.

Berselang lima jam kemudian Wati dan ayahnya telah sampai di sebuah kampus keguruan. Wati segera masuk antrian untuk mendaftar dan mengambil formulir. Wati ingin mengambil jurusan esakta sesuai dengan jurusannya di SMA dulu. Tapi takdir berkata lain, formulir esekta telah habis. Terpaksa Wati mengalihkan pilihanya kepada jurusan sosial karena memang itu jurusan yang tersisa lagi. Bagi dia itu tidak masalah, yang  penting baginya bisa jadi orang yang berguna bagi orang sekitarnya. Dan jadi seorang guru menurutnya adalah salah satu cara dalam mewujudkannya.

Formulir telah di ambil dan juga telah diisi. Untuk bisa duduk di salah satu bangku di kampus itu Wati harus melalui sebuah tes tertulis dulu. Namun sayang, tesnya harus dilaksanakan besok malam harinya. Itu artinya Wati tidak bisa lagi ditemani oleh ayahnya untuk mengikuti tes. Ayahnya harus pulang karena masih banyak kerja yang harrus diselesaikan.

“Ayah, tesnya besok malam”, begitu Aminah melapor kepada ayahnya.
Kemudian Wati dan ayahnya bergegas menuju rumah sesorang yang masih terhitung saudara dengan Wati. Di rumah saudaranya itulah Wati akan menginap sementara. Dari rumah itu juga nantinya Aminah akan berangkat tes. Setelah istrahat sebentar ayahnya  segera bergegas kembali untuk pulang agar tidak kemalaman sampai di kampung.

“Ti, ayah pulang dulu, baik-baik kamu di sini. Isilah lembar ujianmu nanti dengan sepenuh hati. Yakinlah Allah pasti akan berikan yang terbaik untukmu nak”, begitu ayahnya berujar sebelum meninggalkan Wati.

“Iya Ayah, mohon do’a dan restunya”, jawab Wati seraya mencium tangan ayahnya. Ditatapnya kepergian ayahnya dengan tatapan haru bercampur bahagia. Haru karena berpisah dengan beliau, dan bahagia karena bisa mencapai mimpinya. Ayahnya sudah tak tampak lagi dari padangannya, dan ia segera nasuk rumah.
***

Wati bangun pagi-pagi sekali. Walaupun ujiannya nanti malam, namun Wati telah bersiap-siap  dari pagi. Karena hari itu adalah hari yang cukup penting dalam sejarah hidupnya. Setelah membereskan rumah bersama saudaranya Wati kembali mebalik-balik catatannya waktu SMA dulu. Dalam hati kecilnya ia berharap agar catatan itu dapat membantu ujiannya. Karena memang hanya catatan itulah yang dia punya. Waktu SMA dulu ayahnya tidak sangup memelikan buku pelajaran. Wati hanya mengandalkan buku temannya dan mencatat poin-poin penting yang ada dalam buku itu.

Hari telah senja, bumi telah diselimuti langit berwarna keemasan. Setelah shalat magrib Wati berkemas dan bersiap untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Ditemani saudaranya tadi dengan membawa sebuah tekad dan harapan Wati berangkat. Batuh dua kali naik angkutan kota untuk bisa sampai ke kampus tempat Wati ujian dari rumah keluarganya.

Wati telah sampai di kampus tempat dia mengikuti ujian. Karena ujian akan dimulai lima belas menit lagi, Wati duduk dulu di sebuah bangku di temani saudaranya tadi. Kembali dipriksa perlengkapan ujian oleh Wati. Semuanya sudah lengkap dan Wati segera masuk ke lokal.
“Uni, masuk dulu ya Ana”
“ ya uni, hati-hati ujiannya uni. Semoga sukses”, saudaranya tadi menyemangati. “biarlah saya menunggu uni di sini saja”, imbuh saudaranya tadi.
Wati tersenyum dan berlalu masuk ke lokal.

Hampir dua jam Wati berkutat dengan soal-soal ujian yang dierikan pengawas. Semua sola berhasil dijawab oleh Wati. Dilihatnya kembali lembar jawabanya itu untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Semua beres, dan Wati tersenyum. Segera dikmpulkannya lembaran jawaban kepada pengawas dan tidak lupa Wati melemparkan senyum termanisnya dan mengucapkan terimakasih, lalu keluar dari ruangan ujian dan  menghampiri saudaranya yang telah lama menunggunya.

“Bagaimana Uni? Sukses ujiannya?”, sapa saudaranya tadi.
“Alhamdulilah sukses na” jawab Wati dengan senyum tersungging di bibirnya.

Lalu mereka berdua berlalu meningalkan kampus itu setelah menyempatkan diri mampir di papan  pengumuman. Hasil ujian dan kelulusan akan diumumkan seminggu kemudian. Itu artinya seminggu juga lamanya Wati akan diselimuti rasa harap-harap cemas. Berharap agar lulus, dan cemas kalau ia tidak bisa lulus dan mengecewakan ayahnya.
***

Hari itu adalah hari yang sangat dinanti-nati oleh Wati. Pada hari itu akan diumumkan hasil ujian dan siapa yang berhak menimba ilmu di perguruan tinggi itu. Wati telah bersiap untuk melihat hasil ujiannya. Ia berharap menjadi salah seorang dari ribuan nama yang berhak kuliah di kampus itu. Masih ditemani oleh saudaranya Wati bertolak menuju kampu tempat ia ujian dulu.

Sesampainya di kampus, wati segera menuju papan pengumuman dan sudah tidak sabar ingin melihat hasil ujiannya. Sangat ramai manusia berkerumun di depan papan pengumumun kala itu. Memanfaatkan badanya yang mungil Wati akhirnya bisa menyusup ke dalam kerumunan itu. Segera dicarinya namanya di ribuan deretan nama di papan pengumuman itu. Akirnya ditemukannya juga namanya terpampang di papan itu. “Ernawati”, begitu namamya tertulis dipapan pengumuman itu.

“Alhamdulilah, Aku lulus” ia membatin dan segera keluar dari kerumunan itu, lalu menemui saudaranya yang juga harap-harap cemas menunggu berita dari wati yang berdiri tidak jauh dari kerumunan itu.

“Ana, alhamdulilah uni lulus”, Wati bersorak girang sembari memeluk saudaranya.
“Selamat uni”, jawab Ana dengan mata berkaca-kaca karena bahagia.
Setelah puas meluapkan kebahagian lalu mereka berdua pulang ke rumah. Dalam bercalanan pulang tidak henti-hentinya bibir wati mengucapkan syukur kepada Allah. Allah betul-betul telah mendengar do’anya dan mengabulkan pinta gadis itu.
***

Hari itu adalah hari pertama Wati si anak petani kuliah. Dia  tidak lagi tinggal di rumah saudaranya. Dengan alasan ekonomi Ia harus kos di dekat kampus tempat dia kuliah. Hal itu dilakukan agar bisa menghemat waktu dan biaya Wati selama kuliah. Di kos itu juga Wati menemukan teman baru dam mulai membiasakan diri dengan kehidupan baru. Hanya satu yang tidak berubah dari seorang Wati, yaitu kesederhanaannya.

Selama kuliah wati hidup penuh kesederhanaan. Uang belanja yang diberikan ayah dan iunya betul-etul dia manfaatkan sebaik mungkin. Pantang baginya menghambur-hamburkan uang untuk hal yang tidak penting. Hebatnya lagi, ditengah keterbatasan uang belanja yang diberikan orang tuanya Wati masih bisa untuk menabung. Jika kawan ingin tahu berapa uang belanja yang diberikan orangtuanya untuk Wati, maka jawabnya adalah “sangat kurang” untuk kehidupan mahasiswa saat ini. Namun, dengan keadaan seperti itu Wati tetapbisa juga makan dan kuliah.

Begitulah kawan jika sebuat tekad untuk sukses telah terpatri kuat di hati. Uang dan keterbatasan ekonomi tidak lagi jadi soal dan masalah untuk bisa mengapai impian dan cita-cita. Betul kata orang bijak, “jika ada kemaun, pasti ada jalan”. Dan itu sudah dibuktikan dengan baik oleh seorang Wati, anak seorang petani miskin dari sebuah kampung untuk kita jadikan pelajaran.

Tiga tahun lamanya Wati menimba ilmu di kampus keguruan itu. Banyak suka dan duka yang telah dirasakannya. Suka dan duka itulah yang akan menjadi sejarah manis yang akan dikisahkan kepada anak cucunya kelak. Berbagai ilmu telah didapatkannya selama tiga tahun di kampus itu. Terlebih ilmu pendidikan.  

Seorang wati akan diwisuda dan telah siap dinobatkan sebagi seorang guru. Bukan main senangnya ayah Wati mendengar berita itu. Beliau hanya bisa tersenyum dan matanya berkaca-kaca karena bahagia.  Akhirnya dengan segala keterbatasannya petani itu bisa juga menyampaikan cita-cita yang telah lama dirajut oleh anaknya.

Setelah diwisuda, Wati kembali ke kampungnya untuk menerapkan dan berbagi ilmu pengetahuannya. Wati telah menjadi seorang guru di Madrasah Ibtidaiyah Swasta tempat dia bersekolah dulu. Meskipun bukan guru tetap, namun Wati cukup bahagia menjalani pekerjaan barunya itu.

Berselang enam bulan kemudian Wati diangkat sebagai seorang guru tetap di sebuah SMA dan masih tetap di kampungnya. Namun jaraknya agak jauh dari rumahnya. Di SMA itulah Seorang Wati mengabdikan ilmunya sampai sekarang. Cita-citanya untuk bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi orang di sekitarnya telah terwujud.


 ──Untuk seorang ibu yang luar biasa──

*oleh: Heru Perdana P __Mahasiswa Ekonomi Islam IAIN Imam Bonjol Padang

Label:

0 komentar:

Posting Komentar

MOhon kritik dan sarannya..!!

Search

Tentang Saya

Foto Saya
Heru Perdana
Menulis adalah sarana pembebasan jiwa
Lihat profil lengkapku

Add Me on Facebook

Download

Download ebook gratis Download ebook gratis

Blog Info

free counters
Powered by  MyPagerank.Net

Followers