Di Persimpangan Kebimbangan

Sore itu hari begitu cerah, seolah mentari enggan untuk berhenti menyinari bumi tanah tumpah darahku. Namun tidak dengan hatiku, hatiku tidak secarah mentari kala itu. Hatiku saat itu dalam kebimbangan, hatiku saat itu dalam kegalauan. Kegalauan yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Inilah kegalauan hati seoarang anak kelas enam SD yang baru saja selesai ujian EBTANAS.

Kegalauan hatiku saat itu bukan tanpa sebab, kawan. Ada dilema besar dan pergolakakan batin yang luar biasa merasuk ke dalam hati dan pikiranku. Aku harus memilih satu dari dua pilihan yang orang tuaku tawarkan padaku. Mungkin bagi sebagian orang hal ini adalah pilihan yang mudah, tapi tidak untukku.

Bagiku ini adalah pilihan yang sulit yang harus aku putuskan dalam memilih jalan yang harus aku tempuh demi masa depan dan nasibku kelak. Jujur saja, sungguh berat memutuskan semua ini buatku. Namun aku harus putuskan pilihan yang baik buatku dan baik buat ibu,ayah dan adik-adikku kelak.

Aku harus memilih antara melanjutkan sekolah di kampungku saja atau pergi merantau dan melanjutkan sekolahku di sebuah Pesantren. Pilihan sederhana sebenarnya, tapi entah kenapa begitu sulit untuk aku pilih dan putuskan.

Aku bimbang begini, sebenarnya alasanya sederhana sekali kawan. Aku masih agak enggan untuk meninggalkan kampung halamanku ini. Terlalu banyak kenangan indah yang sudah terlanjur aku ukir di kampungku ini. Sulit rasanya meninggalkan kebersamaan yang begitu indah dengan kawan-kawan kecilku.

Sulit rasanya berpisah dengan si Ardi yang lucu tapi usil, yang selalu buat kami belari tunggang-langgang di kejar pak Sabar karena telah merusak pematang sawahnya untuk mencari belut. Yudi temanku yang baik hati namun pendiam yang sering jadi objek keusilan Ardi. Pino si wajah lugu namun banyak akal yang sangat lihai menangkap ikan di sungai. Aku sangat salut dengan kelihaiannya dalam menangkap ikan. Dalam persoalan yang satu ini aku tak pernah bisa menandingi apa lagi mengalahkannya. Belum lagi, si Uyung sesosok manusia mungil yang tidak pernah kehabisan ide untuk buat kami tertawa terpingkal-pingkal dengan tingkah dan guyonannya yang lucu. Ketika bersamanya, seolah dalam hidup ini hanya ada rasa bahagia dan tertawa. Serta banyak lagi kawan-kawan kecilku yang harus aku tinggalkan jika memang aku harus pergi.

Ah, sulit sekali rasanya meninggalkan kampung ini. Sulit meninggalkan kawan-kawanku yang unik dengan berjuta kenangan bersama mereka. Dengan berbagai keunikan itu mereka telah berhasil membuat aku bimbang dan berkelahi dengan perasaanku sendiri dalam memutuskan arah masa depanku.

Namun di sisi lain, orang tuaku menganjurkan agar melanjutkan pendidikan ke kota saja, di sebuah Pondok Pesantren Modern di kota. Anjuran ini sebenarnya bemula dari cerita seorang teman ayahku yang anaknya sudah bersekolah di sana. Orang tuaku juga pernah melihat anak temannya itu beceramah. Tidak hanya itu saja, ditambah lagi cerita teman ibuku yang juga anaknya telah dulu bersekolah di sana dan telah tamat serta telah melanjutkan kuliah dengan jurusan yang menurut orang tuaku sangat bagus dan membanggakan.

Tidak adil rasanya ayah dan ibuku menyuruh aku melanjutkan sekolah ke kota hanya karena melihat anak temannya. Bagaiman pun juga aku masih berhak menentukan arah hidupku tanpa harus mengukuti anak teman beliau yang harus membuat aku berpisah dengan kawan-kawanku. Aku juga tidak ingin masa depanku adalah masa depan yang aku peroleh hanya karena ikut-ikutan saja.

Aku bingung, entah kenapa orang tuaku begitu ingin aku mengikuti jejak anak temannya itu. Ketika aku bertnaya, “kenapa ibu dan ayah begitu ingin aku melanjutkan sekolahku ke pesantren?”. Ayah dengan sedikt senyum menjawab, “kelak engkau akan tahu jawabannya ketika telah mengikuti anjuran kami ini”. Jawaban ayah buat aku makin bimbang.

***

Mentari telah tenggelam di balik bukit. Aku pulang setalah puas bermain dan mandi di sungai bersama teman-temanku. Ku lemparkan bajuku yang basah ke dalam sebuah ember dekat sumur. Aku ganti baju, lalu makan. Makan pun terasa tidak enak senja itu. Aku masih bingung. Selera makanku telah dikalahkan oleh kebingunganku sendiri. Dalam kebingungan itu aku mengutuki diriku sendiri. Kenapa aku begitu lemah. Memutuskan untuk melanjutkan sekolah saja aku harus bimbang dan kehilangan selera makan seperti orang sedang putus cinta.

Setelah makan aku pun mengambil sarung bersiap untuk pergi mengaji ke mesjid. Inilah kebiasaan kami anak-anak kampung setelah magrib, yaitu belajar mengaji di mesjid. Belajar mengaji dilakukan dalam bentuk halaqah dan dibimbing oleh seorang guru yang sudah tua dan sangat suka kopi. Aku tahu itu karena di saat mengajarkan kami beliau sering menyuruh salah satu di antara kami untuk memesankan kopi ke warung yang tidak jauh dari mesjid.

Biasanya kami mengaji hanya sampai waktu isya. Jika isya telah masuk maka proses belejar dihentikan, lalu shalat isya berjemaah. Kami baru boleh pulang setelah shalat isya dan menggulung kembali tikar yang kami duduki untuk belajar tadi.

Di rumah aku telah ditunggu oleh kedua orang tuaku. Tidak biasanya mereka menungguku seperti ini. Jelas saja keadaan ini menimbulkan sejuta tanda tanya dalam diriku. Aku coba lagi mengingat-ingat perangaiku sehari ini. Rasanya aku tidak ada melakukan salah. Pagi aku sekolah. Siangnya aku bermain berama teman-temanku dan tidak berkelahi. Sorenya aku telah menyiram tanaman, kerja rutinku setiap hari. Dan kali ini baru saja aku pulang mengaji. Aku tidak pernah libur mengaji, kecuali hujan lebat. Tapi kenapa aku di tungggu seperti itu oleh orang tuaku.

Belum hilang kebingunganku, ayahku berkata, “duduklah, kami perlu bicara denganmu”.
“ada apa ayah?”, aku masih belum mengrti apa yang akan dibicarakan orang tuaku.
Lalu ibuku menyahut, “kamu telah selasai ujian EBTANAS, dan besok pengumuman kelulusanmu akan keluar”.
Aku mulai paham kenapa ayah dan ibu menungguku seperti ini. Aku tahu persoalan yang akan dibicarakan tidak jauh dari soal kelanjutan sekolahku.

Aku tatap wajah mereka, “iya bu, tapi aku belum bisa putuskan, aku masih ragu”.
Lalu ibuku melanjutkan pembicaraanya, “kau harus cepat putuskan nak, karena pendaftarannya sudah dibuka dan hampir tutup. Kami sangat ingin kau melanjutkan sekolahmu ke kota, di sebuah pesantren”.

Lalu ayah menyela, “ini bukan untuk kami, tapi untuk masa depanmu juga”.
Ayah diam sejenak dan melanjutkan pembicaraanya kembali, “Jika tetap di kampung, maka temanmu hanya orang itu-itu saja. Pengalaman yang kau dapatkan juga tak akan banyak dan pola pikirmu juga tak akan banyak berubah. Namun, jika kau pilih untuk sekolah ke kota, maka pengalamanmu akan banyak bertambah. Kamu juga akan mendapatkan teman baru tanpa harus kehilangan teman-teman di kampung. Ayah yakin, pola pikirmu juga akan labih maju dan berkembang”.

Aku hanya menganguk takzim dengan penjelasan beliau. Tak berani lagi aku menjawab. Jangankan untuk menjawab, menatap wajah merekapun aku sudah tak kuasa. Alasan yang mereka berikan sangat tapat. Tak bisa lagi aku berkilah. Setidaknya dengan mendengar penjelasan ayah tadi kebimbanganku sudah agak sedikt berkurang, namun hati ini belum juga mantap mau menjatuhkan pilihan ke mana.

“Pikirkanlah, dan cepat putuskan!”, ayahku setengah mendesak lalu bangkit dari tempat duduknya dan berlalu meninggalkan aku bersama ibu.

Sepeninggal ayah, ibu mengusap kepalaku. Ibu melihat jam dinding usang yang menepel dengan anggun di dinding rumahku. Jam usang itu sudah menunjukan pukul sepuluh lewat lima belas malam. Ibu lalu menyuruh ku tidur.
“tidurlah dulu, sudah malam! Pikirkan apa yang ayahmu katakan tadi. Yakinlah ini semua demi kebaikanmu nak. Ini bukan untuk kami, tapi untuk masa depanmu”.

Aku mengangguk menandakan paham, lalu bangkit dari tempat dudukku. Kemudian aku berlalu meninggalkan ibu dan segera menuju kamarku, tapatnya kamarku dan kamar dua orang adik laki-lakiku. Sampai di kamar aku pandangi adik-adiku yang telah lelap dan hanyut entah ke mana di bawa oleh mimpinya. Rona wajah mereka jelas sekali belum ada beban. Berbeda denganku yang tengah diamuk kebimbangan. Aku buka sarung yang ku pakai untuk mengaji tadi, lalu ku lipat dan aku letakkan di sandaran kursi yang ada di kamarku.

Malam itu aku tidak bisa benar-benar tidur nyenyak . aku hanya menerawang menatap langit-langit kamarku yang belum dipasang loteng itu. Pikiranku masih digangu oleh rasa binggung untuk memutuskan dua pilihan yang diberikan orang tuaku. Antara tetap di kampung atau merantau untuk melanjutkan sekolah. Jika tetap di kampung maka perngalaman yang aku dapat hanya itu-itu saja, tidak ada perubahan. Namun jika aku pilih untuk melanjutkan sekolah ke kota, aku harus meninggalkan kawan-kawanku dengan segenap keunikannya. Ah, aku bingung!

Akhirnya aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju sumur, lalu aku berwudu’. Aku ingin mengadukan masalah ini pada Allah dengan melakukan shalat istikharah. Akan aku amalkan pelajaran yang pernah di berikan oleh guruku ketika belajar di MDA di sebelah mesjid tempat aku biasa mengaji. Aku bentangkan sajadah, aku shalat dua rakaat. Setelah itu aku mulai mengadukan kebingunganku pada Allah melalui untaian bait-bait do’aku. Do’a anak kelas enam SD. Aku berharap besok ketika bangun pagi aku sudah mendapatkan kemantapan hati untuk memutuskan akan melanjtkan sekolahku ke mana. Setelah mengadukan semuanya kepada Allah, aku baru sedikit tenang dan tertidur.



*Heru Perdana
Padang, 04012012

Label:

0 komentar:

Posting Komentar

MOhon kritik dan sarannya..!!

Search

Tentang Saya

Foto Saya
Heru Perdana
Menulis adalah sarana pembebasan jiwa
Lihat profil lengkapku

Add Me on Facebook

Download

Download ebook gratis Download ebook gratis

Blog Info

free counters
Powered by  MyPagerank.Net

Followers