Hidup Dengan Bumbu Sukses dan Kegagalan

Kitika kita hidup di dunia ini, kita selalu dihadapkan pada keadaan di mana segala sesuatu itu diciptakan kebanyakan berpasang-pasang.ada yang tinggi dan ada yang rendah. Ketika ada pendakian, juga akan diikuti dengan penurunan. Kesusahan akan selalu disandingkan dengan kemudahan. Keindahan berpasangan dengan kejelekan. Adanya yang kaya juga membuat adanya yang miskin. Dan keadaan perpasangan yang lainnya. Semua telah diatur begitu indah oleh Yang Maha Kuasa dengan pasangannya masing-masing. 

Layaknya yang lain, adanya kesuksesan juga menghendaki adanya kegagalan. Karena memang itulah pasangannya. Kenyataan seperti itu juga sudah merupakan hukum alam yang akan selalu menghiasi alur kehidupan kita di hamparan bumi Allah yang indah ini. Kita tentu tidak mungkin mengecap manisnya madu kesuksesan tanpa tahu dahulu bagaiman pahitnya sebuah kegagalan.

Siapapun dia, saya, anda dan kita semua mungkin sudah sangat sering menemukan sebuah kenyataan yang sering disebut dengan istilah “kegagalan dan kesuksesan”. Dari mana pun kita berasal, dengan kondisi dan latar belakang keluarga bagaimanapun, dan apapun suku dan bangsa kita, kita tidak akan mungkin terlepas dari dua kata yang saling berpasangan itu. Suka ataupun tidak, rala atau terpaksa, kesuksesan dan kegagalan akan tetap menghampiri hidup kita. Mungkin saja intensitas dan kualitasnya saja yang akan berbeda-beda antara kita dan orang lain.

Kadang kita hanya suka dengan yang namanya “kesuksesan” saja tanpa mau menerima “kegagalan”. Jangankan untuk menerima lalu mersakan, bahkan untuk mendengar dan membicarakan kegagalan saja kita enggan. Kita terlalu takut dengan hadirnya kegagalan dalam hidup kita ini. Seolah kata kegagalan itu adalah momok paling yang menakutkan dalam hidup kita. Sehingga sering kali hal itu membuat kita lupa bahwa sebuah kesuksesan tidak akan serta-merta diraih tanpa hadirnya sebuah kenyataan pahit “kegagalan”. Sejatinya dari kegagalanlah kita tahu apa itu kesuksesan dan keberhasilan.

Memang sebagian besar jiwa manusia tidak suka akan hadirnya kegagalan, jiwa kita lebih cendrung kepada kesuksean saja. Karena memang begitulah sifat dasar manusia, maunya enak saja. Kita selalu berharap dalam setiap usaha yang kita lakoni dalam setiap babak kehidupan ini selalu dihiasi dengan kesuksesan, namun kenyataan seperti itu tidak pernah selalu terjadi. Tidak ada orang yang dalam hidupnya meraih seratus persen sukses, tatap saja ada kegagalan yang mengikuti gerak langkah hidupnya. Kita harus menyadari bahwa tidak semua akhir dari sebuah usaha adalah sukses, dan juga tidak akan selalu gagal. Intinya kesuksesan dan kegagalan akan selau terjadi silih berganti dalam kehidupan insan di dunia ini.

Jika kita kembali menilik sejarah,memperhatikan perjalanan hidup orang-orang terdahulu yang sukses, yang telah memberikan kehidupan nan begitu indah kepada kita saat ini melalui kesuksesan yang diraihnya, maka kita akan banyak menemukan catatan-catatan kegagalan yang menemui setiap derap langkah perjuangan mereka, hingga akhirnya manisnya madu kesuksesan dapat direguknya dan diwariskannya kepada kita saat ini. kita jangan mengira bahwa kesuksesan yang mnereka raih itu adalah tanpa melalui kegagalan terlebih dahulu. Mereka yang sukses itu adalah mereka yang sudah kenyang dengan yang namanya kegagalan.

Sebut saja seorang fisikawan besar abad dua puluh, Albert Einsten yang telah puas dengan bumbu kegagalan dalam hidupnya. Ia pernah berkata tentang kegigihan dan ketekunan kerja yang ia jalani sepanjang karirnya. Einsten mengatakan, “ saya berfikir terus menerus, berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun . Sembilan puluh Sembilan dari kesimpulan saya adalah keliru. Namun kesimpulan saya yang keseratus saya berhasil dan sukses”.

Pernyataan Albert Einsten tadi telah menjelaskan secara gamblang kepada kita bahwa dalam sejarah panjang kehidupan seorang ilmuan besar seperti dirinya lebih banyak didominasi oleh kegagalan sebelum akhirnya ia berhasil meraih sukses yang telah berhasil membuat namanya dikenang sampai saat ini.

Belum lagi Thomas Alfa Edison, seorang ilmuan yang telah berhasil menemukan bola lampu pijar dan telah memegang rekor 1.093 paten atas namanya. Pria ini juga tidak kalah dengan Albert Einsten dalam merasakan yang namanya kegagalan. Namun ia tidak patah arang dan berhenti melakukan penelitian dan percobaan. Ia juga pernah berkata, “Saya percaya, hidup merupakan sebuah perjuangan. Kegagalan adalah suatu jalan menuju pintu kesuksesan. Kita bisa belajar dari kegagalan”. Thomas Alfa Edison menemukan ribuan cara agar lampu tidak dapat menyala karena ia gagal beribu-ribu kali pula.

Jadi jelas, bahwa kesuksesan yang mereka perolah bukanlah hasil kerja kemaren sore. Itu semua mereka dapatkan dengan usaha yang luar biasa dan pengalaman kegagalan yang mungkin sudah tak terhitung lagi banyaknya. Bahkan nabi Muhammad Saw, orang yang begitu suci dan telah dijamin oleh Allah kehidupannya juga pernah mengecap yang namanya gagal. Beliau pernah gagal dalam beberapa perperangan yang terjadi, sebelum sukses dengan gilang gemilang dalam menaklukan kota Makah. Gagal dan sukses akan menghampiri siapa pun. Dia datang kepada siapa saja tanpa pandang bulu dan melihat status sosial mereka.

Kita juga tidak bisa pungkiri bahwa sukses dan gagal yang hadir dalam kehidupan kita juga sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh seberapa gigih serta giatnya kita bekerja dan berusaha. Mereka yang giat dan gigih dalam berusaha akan lebih berpeluang banyak memperoleh kesuksesan. Dan sebaliknya, bagi mereka yang lebih banyak malas dalam berusaha, maka akan berpeluang mengalami banyak kegagalan dalam hidupnya. Kalau ia jadi siswa, ia akan jadi siswa yang gagal. Jika ia jadi mahasiswa, maka ia akan jadi mahasiswa yang gagal. Seandainya ia jadi pengusaha, maka ia juga akan jadi pengusaha yang gagal. Mungkin saja kalau ia berkeluarga, maka ia akan jadi suami, istri, ayah atau ibu yang gagal pula. Yang jelas bagi mereka yang malas sejarah hidupnya akan lebih banyak diwarnai oleh tinta “kegagalan”.

Sukses dan gagal juga tidak bisa ditentukan dengan uang atau materi. Memang secara teori , mereka yang kaya akan berpeluang untuk meraih sukses yang lebih banyak ketimbang mereka yang miskin. Namun pada kenyataannya dalam realita kehidupan tidak selalu demikian. Tidak selamanya orang kaya yang bergelimang materi itu selalu sukses. Dan juga tidak selamanya mereka yang kurang beruntung alias miskin selalu memperoleh kegagalan. Allah Yang Maha Kuasa akan memberikan sukses dan gagal itu kepada hambanya secara adil sesuai dengan tingkat usaha yang dilakukan oleh seorang hamba.

Sukses dan gagal tidak bisa diukur dengan uang dan materi saja. Sukses dan gagal itu mencakup semua hal. Betapa tidak, berapa banyak kita lihat mereka yang kaya dan berlimpah materi yang selalu bergelut kemewahan, namun kehidupan keluarganya kacau dan berantakan. Berapa banyak pula mereka yang berasal dari keluarga miskin dan hidup prihatin berhasil jadi pemimpin, penjabat, tokoh masyarakat, dan pengusaha yang sukses. Satu pelajaran menarik yang dapat kita ambil dari sini, bahwa sukses dan gagal itu akan hadir menghampiri semua orang, apapun latar belakang kehidupan mereka.

Sukses dan gagal juga tidak bisa ditunjukan dengan hanya melihat dari satu sisi kehidupan saja. Boleh jadi seseorang itu gagal di satu sisi dan meraih sukses di sisi yang lain. Intinya kesuksesan dan kegagalan akan terus terjadi dalam kehidupan kita sesuai dengan tingkat usaha yang kita lakukan.

Antara kesuksesan dan kegagalan ibarat dua sisi mata uang yang sangat sulit untuk dipisahkan dalam hidup kita. Jadi kita tidak usah terlalu takut dalam menghadapi kegagalan. Yang lebih penting dan yang harus kita tahu adalah bagaimana cara menghadapi, menerima serta menyikapi sebuah kegagalan. Agar kita bisa belalajar dari pahitnya kegagalan, lalu mereguk manisnya madu kesuksesan dengan belajar dari pengalaman kegagalan yang harus kita sikapi dengan cerdas dan dewasa.

Lalu bagai mana dengan kesuksesan? Kesuksesan juga bukan barang langka yang sulit kita rasakan dalam kehidupan kita. Selagi kita mau berusaha, maka harapan untuk sukses itu masih tetap ada. Kadang kawan, menyikapi sebuah kesuksesan itu jauh lebih sulit ketimbang meraihnya. Betapa banyak orang yang salah dan keliru dalam menyikapai kesuksesannya. Mereka gelap mata lalu sombong dan lupa bersyukur dengan kesuksesan yang telah mereka raih. Seolah mereka lupa siapa yang memberikan kesuksesan itu kapada mereka. Jadi, layaknya kegagalan, kita juga harus bisa menyikapi kesuksesan dengan baik dan sesuai sehingga kesuksesan di dunia akan bisa menghantarkan kita kepada kebahagiaan di akhirat kelak.



*Oleh: Heru Perdana P.

[ Selengkapnya...]
Label:

Anak Petani dan Sebuah Cita-cita


Pagi itu masih saja seperti pagi-pagi sebelumnya. Udara yang dingin ala perbukitan tetap terasa menusuk tulang. Kicauan burung di pohon kedondong di samping rumah seorang petani menambah syahdunya pagi itu. Embun di halaman rumah belum juga kering, dan mentari masih saja seperti malu-malu bersembunyi di balik bukit menandakan hari masih sangat pagi untuk mulai beraktivitas.

Namun,di sebuah rumah di tepi sawah telah terjadi aktivitas kehidupan jauh sebelum fajar menyingsing. Di rumah sederhana namun asri itu telah berlangsung rutinitas sehari-hari layaknya keluarga petani. Seorang ibu telah mulai menanak nasi,memanaskan air dan menyeduh teh tanpa di saring untuk seorang lelaki kepala keluarga yang tengah asik membaca sebuah buku bertulisan arab melayu tanpa baris duduk di sebuah kursi kayu usang di dekat jendela sembari menunggu  segelas  teh panas buatan sang istri, sebelum berangkat menuju kebun karet, tempat  beliau mengais rezeki untuk keluarga.  Begitulah kebiasan laki-laki yang tidak tamat sekolah rakyat dan menyukai ilmu serta menghargai pendidikan itu. 
Sementara di sebuah kamar sederhana berdindingkan papan namun ditata dengan apik seorang anak gadis, Wati begitu orang biasa memanggilnya tengah bersiap-siap  berangkat ke sekolah untuk menerima ilmu dari guru di sebuah sekolah sederhana di tepi sungai yang tidak terlalu jauh dari rumah petani tadi. Sebuah sekolah Madrasah Ibtidaiyah Swasta yang dibangun dengan swadaya dari penduduk sekitar. Dan untuk masuk ke sekolah itu Wati juga hanya diantarkan oleh pamannya. Meskipun sangat sederhana dan jauh dari kata “mewah”,akan tetapi anak sulung dari petani itu tetap semangat dalam menimba ilmu penegtahuan. Agaknya kecintaan terhadap ilmu dari seorang lelaki petani yang tidak sempat menamatkan sekolah rakyat itu telah mengalir deras dalam darah anak gadis kecil nan ayu itu. Seorang anak gadis yang diharapkan akan menyambung asa keluarga.

Mentari sudah merangkak naik meninggalkan peraduannya, suasana kampung pun telah  telah ramai oleh hilir mudik petani yang akan pergi ke sawah dan ladang serta beberapa orang anak sekolah yang akan berangkat sekolah seperti halnya si Wati, karena memang tidak semua anak yang sekolah di kampung itu. Jujur saja kesadaran akan pentingnya  pendidikan di kampung yang dikelilingi oleh bukit itu masih sangat rendah. Lebih banyak orang tua yang menyuruh anaknya pergi ke sawah dan ladang ketimbang ke sekolah untuk menuntut ilmu. Karena memang kalau ke sekolah tidak langsung menghasilkan uang dan bahkan harus mengabiskan uang. Lain halnya dengan ke sawah, ke ladang atau mengembala ternak yang langsung dalam waktu dekat dapat dilihat hasilnya, dengan kata lain lebih cepat menghasilkan uang. Begitu menurut pemahaman mereka. Bahkan mereka beranggapan lebih baik menanam kelapa dari pada menyekolahkan anak. Ah, sebuah pemahaman yang sangat keliru.

Agaknya kondisi seperti itu dipicu oleh susahnya dan  keterbatasan keadaan ekonomi mayarakat di kampung itu. Sebuah kampung yang asri namun masih jauh dari yang namanya kemajuan teknologi. Jangankan untuk mengenal teknologi, untuk membicarakannya saja bibir mereka masih kaku. Program pemerintah untuk listrik masuk desapun belum menyentuh kampung itu. Sehingga akses informasi juga agak sulit untuk sampai kepada mereka.  Jadi tidak heran jika pemahaman masyarakat seperti itu di kampung terebut. Namun keadaan demikian tidak membuat Aminah surut untuk menuntut ilmu dan mengapai cita-citanya.

***

Enam tahun sudah Wati menimba ilmu di Madrasah Ibtidaiyah Swasta dengan segala kesederhanaannya. Sekarang tiba saatnya Wati  harus melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Sebuah SMP yang berjarak belasan kilo meter dari kampungnya adalah pilihannya. Jarak yang cukup jauh dengan keadaan transportasi yang terbatas saat itu dan diperburuk dengan kondisi jalan yang sangat meprihatinkan. Jika hujan jalan itu sangat sulit sekali dilalui oleh sepeda. Namun, keputusan itu harus diambil Wati demi sebuah cita-cita untuk penghidupan yang lebih baik di masa yang akan datang. Buntut dari pilihanya itu Wati harus siap berangkat pagi-pagi sekali di saat mata hari belum keluar dari peraduannya. Untuk berangkat sekolah Wati harus mengunakan senter dan dibonceng oleh temannya yang juga wanita.

Tiga tahun Wati menimba ilmu dalam balutan suka dan duka di SMP pilihannya itu. Tiga tahun juga dia harus berangkat sekolah setelah subuh di mana hari masih gelap dan suasana kampung masih sunyi. Walaupun jauh, namun pantang baginya untuk terlambat masuk ke sekolah. Kondisi seperti itulah yang telah membuat seorang Wati jadi gadis remaja yang memiliki keinginan kuat bagaikan karang di lautan untuk mengapai cita-cita dan kesuksesan. Cita-cita dan kesuksesan baginya meskipun hidup bergelimang kesederhanaan adalah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi.

Wati telah menamatkan pendidikannya di SMP pilihannya. Itu artinya, demi sebuah cita-cita ia harus melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. Setelah merundingkan rencananya dengan ayahnya──sang petani──tadi, maka dapatlah kata sepakat bahwa ia harus melanjutkan sekolahnya di sebuah SMA dua lapis bukit dari kampungnya, yang berjarak sekitar tiga puluh kilo meter dengan jalan yang sangat meprihatinkan dan sulit untuk dilalui kendaraan. Dengan keadaan seperti itu Wati dan ayah serta ibunya sepakat kalau Wati harus tinggal di sebuah rumah penduduk ──ngekos istilah sekarang── di dekat SMA pilihannya tersebut. Hal itu dilakukan mengingat biaya dan waktu yang terlalu banyak terpakai jika Wati harus berangkat dari rumah. Alhasil terpaksa Wati harus berpisah dari Ayah, Ibu dan adik-adiknya untuk sementara dan hanya bertemu sekali seminggu, itupun jika memungkinkan. Tapi tidak mengapa, demi sebuah cita-cita Wati dan keluarganya rela.

Memasuki tahun kedua Wati di SMA itu, badai kesusahan mulai membuat oleng biduk kehidupannya dan nyaris saja membuat dia tamat paksa dari SMA itu. Permasalahannya tidak jauh dari masalah uang, karena hasil pertanian  memang agak merosot kala itu. Namun, untunglah Wati bukanlah sosok wanita yang bermental kerupuk, dengan tekad yang sudah bulat dia tetap bersikeras untuk tetap melanjutkan sekolah. Wati sudah terlanjur mengantungkan sebuah cita-cita dan baginya tiada kata surut untuk itu semua.

“sekali layar terkembang pantang untuk surut kembali”, begitu prinsipnya.
 Walaupun dia harus menaggung resiko dibekali uang belanja seadanya. Hanya beras yang agak banyak yang bisa dibawanya. Selaku anak sulung dari seorang petani miskin Wati cukup tau diri dan rela berbagi uang belanja dengan beberapa orang adiknya yang juga sekolah, karena kondisi ekonomi sangat sulit pada masa itu.

Dengan segala keterbatasan akhirnya Wati bisa juga menamatkan pendidikan di SMA. Berlinang air mata pak Tani melihat selambar kertas bertuluskan angka-angka, yang lebih banyak dipenuhi oleh angka Sembilan dan delapan yang dipersembahkan oleh anaknya. Segala harapan keluarganya dijawab lunas dengan selembar ijazah dengan nilai yang bagus oleh Wati.

Di tengah kebahagian yang dirasakan Wati dan keluarganya, terselip sebuah kegetiran dan kegusaran. Wati gusar kalau-kalau dia tidak dapat melanjutkan pendidikan yang sangat diidam-idamkannya. Setali tiga uang, sang ayah juga merasakan hal yang sama dengan Wati. Ditatapnya anaknya dalam-dalam. Tampak jelas di mata lelaki itu gurat kegalaun dan kebimbangan. Ia bangga punya anak dengan cita-cita tinggi dan di sisi lain himpitan ekonomi cukup keras medera keluarga itu yang membuat sang ayah ragu dapat mewujudkan cita-cita anaknya.
***

Senja telah merayap menyelimuti desa yang dilalui sungai Batang nyiur itu. Mata hari telah lama bersembunyi di balik bukit dan kembali ke peraduannya. Di beranda rumah nan sederhana, terlihat sesosok gadis termenung dengan penuh harap. Berharap ada keajaiban dan perubahan nasib baginya. Tanpa di sadari oleh sang gadis di balik pintu ada sepasang mata yang tengah mengamati dan meprihatikannya dengan tatapan nanar. Dialah ibu Wati yang sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk masa depan anaknya. Lama Ia memperhatikan anaknya, hingga akhirnya dikuatkan hatinya untuk menemui anaknya dan berbicara dari hati ke hati dengan anaknya.

“Apa lagi yang Kau pikirkan nak”, sapa beliau sambil duduk di samping Wati. “bukannya nilai ujianmu sudah sangat bagus, dan kami bangga denganmu”, sambung ibu tadi.

Wati mengankat wajahnya, butiran hangat meleleh dari sudut matanya. Ia tatap wajah ibunya dalam-dalam dan berkata, “iya Ibu, tapi itu belum cukup. Aku ingin melanjutkan pendidikanku. Aku ingin mengapai cita-citaku”.

Digengamnya tangan Wati oleh ibunya, “ibu mengerti perasaanmu nak, tapi apa boleh buat keadaan kita sangat susah saat ini. Lihatlah tiga orang adikmu juga butuh biaya untuk sekolah”. Ibu itu berhenti sejenak dan menhela nafas, lalu melanjutkan ucapannya, “bukankah sekolahmu itu sudah cukup tinggi untuk ukuran anak-anak seusiamu di kampung kita ini”.

“kamu bisa belajar menjahit dengan etek Inur, seperti kawan-kawanmu yang lain”, imbuh ibu itu.

Tak kuasa Wati menahan tangisnya, meledaklah tangis anak gadis yang memiliki cita-cita tinggi itu di pangkuan ibunya. Di sela-sela tangisnya Wati masih sempat berkata yang lebih cocok disebut permohonan seorang anak kepada ibunya,

“Ibu, tolonglah! Aku hanya ingin melanjutkan sekolahku. Kalau masalah belajar menjahit, bisa aku lakukan jika aku libur kulaih”, ucap Wati setengah berharap.

Lama mereka hanyut dalam lamunan masing-masing. Suasana hening, hanya terdengar sesekali suara jangrik dan katak sawah yang saling bersahutan. Dua anak beranak itu tetap saja tengelam dalam awan pikiran mereka masing-masing. Hingga akhirnya lantunan azan isya yang terdengar dari tua usang musahalah yang berada tidak jauh dari rumah Wati.

“sudah masuk waktu isya, mari kita shalat dulu. Nanti kita bicarakan lagi masalah ini dengan ayahmu”, ibu itu berkata sambil berdiri dari tempat duduknya dan mengajak Wati masuk ke dalam rumah.

Wati mengikuti dengan gontai langkah ibunya, lalu langsung menuju ke sumur dan mengambil whudu’. Malam itu mereka tidak shalat  berjemaah karena sang ayah sedang tidak di rumah. Setelah shalat, Wati berdo’a dan bermunajat kepada Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih agar keinginan dan cita-cita yang telah lama ia rajut dapat terwujud. Lama ia membenamkan kepalanya dalam sujud setelah berdo’a.

Wati tersentak oleh panggilan ibunya. Dibukanya mukenah yang ia kenakan tadi dan segera berjalan menuju daput tempat ibunya memangigl tadi. Ibunya menyuruh Wati makan.

“Makanlah dulu, jangan terlau Kau pikirkan masalah tadi. Nanti kita bicarakan lagi dengan ayahmu”, suara ibu menghibur Wati sambari menyodorkan sebuah piring ke tangannya.

“ya bu”, jawab Wati pelan dan mengambil piring dari tangan ibunya.

Jelas sekali Wati tidak ada selara makan waktu itu. Selera makannya menguap entah ke mana. Lama ditatapnya saja nasi yang ada di piringnya dengan tatapan nanar dan dalam yang menyimpan sebuah harapan. Dadanya sesak, batinya berkecamuk antara realita hidup dan sebuah cita-cita yang telah terpatri di hatinya.

“Makan lah dulu!”, ibunya kembali menegur.

Dengan susah payah akhirnya bisa juga ditelan habis nasi yang ada di piringnya itu. Setelah mencuci semua piring dan membereskan dapur, Wati segera masuk kamar dan membaringkan diri di tempat tidur. Sudah beberapa kali ia coba memajamkan mata, dan sebanyak itu pula ia gagal melakukannya. Percakapannya dengan ibunya di beranda rumah tadi masih terngiang jelas di telinganya. Sementara di sisi lain, waktu  pendaftaran kuliah hanya tinggal satu minggu lagi.

Sampai sepertiga malam terakhir matanya juga tidak kunjung terpejam. Wati bangkit dari pembaringannya, dan berjalan menuju ke sumur di belakang rumahnya. Dia berwudhu’ dan kembali ke kamarnya lalu mengambil mukenah dan kain sarung yang terlipat di atas meja di sudut kamarnya. Dia bersiap bermunajat kembali kepada Allah. Ia ingin mengadukan semua kegalauan hatinya kepada Tuhan. Berharap Tuhan mendengar lalu mengabulkan keinginannya.
***

Pagi itu setelah membersihkan rumah, Ibunya memanggil Wati ke baranda rumah. Seperti kerbau yang ditusuk hidungnya Wati berjalan di belkang ibunya menuju beranda rumahnya. Di mendapati ayahnya telah duduk menunggunya di sana ditemani segelas teh hangat tanpa disaring.

“Duduklah, ayah ingin bicara denganmu”, begitu ayahnya membuka pembicaraan sembari menghisap rokok tanpa filter dan mengepulkan asapnya.

“Ada apa ayah?”, Wati bertanya dan duduk di samping ibunya.

“ini soal sekolahmu”, sambil menguk teh hangat  ayahnya menjawab.

“Ayah dan ibumu sudah sepakat dan putuskan untuk tetap mengizinkan kamu untuk melanjutkan kuliah. Kejarlah impianmu nak, buat kami bangga telah memiliki anak sepertimu”, ujar sang ayah sambil memegang kepala anak gadisnya itu.

“Benarkah itu Ayah?”, Tanya Wati seolah tak percaya.
“iya, benar”, ayahnya mengangguk.

Tak terasa butiran hangat mengalir dari sudut mata Wati. Kali ini bukan air mata kegalauan lagi, tapi adalah aliran air mata kebahagiaan. Sungguh tak terkira girangnya hati Wati mendengar ucapan ayahnya. Batinya bersorak gembira. Burung gereja di batang kedongdong juga ikut bernyanyi seolah turut merasakan getaran kebahagiaan dari batin sorang anak gadis petani miskin, seorang petani yang menyadari betapa pentingnya sebuah pendidikan.

Pagi itu adalah pagi yang sangat bersejarah dalam sejarah hidup Wati. Sekaligus merupakan pagi yang menentukan masa depannya. Allah telah mengijabah do’a yang dipanjatkan seorang anak petani yang memiliki  sebuah cita-cita. Do’a dan usahanya membuahan hasil. Belum selesai Wati meluapkan kebahagiannya, terlintas lagi sebuah persoalan di pikirannya. Lalau ia bertanya kepada ayahnya.

“ayah bagaiman dengan biaya masuk kuliah yang cukup besar untuk ukuran keluarga kita itu”, Tanya Wati kepada ayahnya.

Dengan sedikit senyuman tersunggging di bibir ayahnya menjawab,”Tidak usah kau pikirkan itu, ayah telah persiapkan semuanya. Ayah akan jual sapi kita, dan jika kurang akan ditambah dengan sedikit tabungan ibumu”.
Ibunya hanya tersenyum dn mengangguk tanda setuju dengan ucapan ayahnya.
***

Dengan berbekal uang seadanya, Wati berangkat menuju kota bersama ayahnya untuk mendaftar di sebuah kampus dan menjemput impiannya. Dengan menumpang sebuah truk pengangkut padi ayah dan anak gadisnya itu bertolak meninggalkan kampung mereka.  Dengan mata berbinar Aminah menatap ayahnya. Dalam tatapannya terguratsebuah ucapan terimakasih kepada ayahnya.

Berselang lima jam kemudian Wati dan ayahnya telah sampai di sebuah kampus keguruan. Wati segera masuk antrian untuk mendaftar dan mengambil formulir. Wati ingin mengambil jurusan esakta sesuai dengan jurusannya di SMA dulu. Tapi takdir berkata lain, formulir esekta telah habis. Terpaksa Wati mengalihkan pilihanya kepada jurusan sosial karena memang itu jurusan yang tersisa lagi. Bagi dia itu tidak masalah, yang  penting baginya bisa jadi orang yang berguna bagi orang sekitarnya. Dan jadi seorang guru menurutnya adalah salah satu cara dalam mewujudkannya.

Formulir telah di ambil dan juga telah diisi. Untuk bisa duduk di salah satu bangku di kampus itu Wati harus melalui sebuah tes tertulis dulu. Namun sayang, tesnya harus dilaksanakan besok malam harinya. Itu artinya Wati tidak bisa lagi ditemani oleh ayahnya untuk mengikuti tes. Ayahnya harus pulang karena masih banyak kerja yang harrus diselesaikan.

“Ayah, tesnya besok malam”, begitu Aminah melapor kepada ayahnya.
Kemudian Wati dan ayahnya bergegas menuju rumah sesorang yang masih terhitung saudara dengan Wati. Di rumah saudaranya itulah Wati akan menginap sementara. Dari rumah itu juga nantinya Aminah akan berangkat tes. Setelah istrahat sebentar ayahnya  segera bergegas kembali untuk pulang agar tidak kemalaman sampai di kampung.

“Ti, ayah pulang dulu, baik-baik kamu di sini. Isilah lembar ujianmu nanti dengan sepenuh hati. Yakinlah Allah pasti akan berikan yang terbaik untukmu nak”, begitu ayahnya berujar sebelum meninggalkan Wati.

“Iya Ayah, mohon do’a dan restunya”, jawab Wati seraya mencium tangan ayahnya. Ditatapnya kepergian ayahnya dengan tatapan haru bercampur bahagia. Haru karena berpisah dengan beliau, dan bahagia karena bisa mencapai mimpinya. Ayahnya sudah tak tampak lagi dari padangannya, dan ia segera nasuk rumah.
***

Wati bangun pagi-pagi sekali. Walaupun ujiannya nanti malam, namun Wati telah bersiap-siap  dari pagi. Karena hari itu adalah hari yang cukup penting dalam sejarah hidupnya. Setelah membereskan rumah bersama saudaranya Wati kembali mebalik-balik catatannya waktu SMA dulu. Dalam hati kecilnya ia berharap agar catatan itu dapat membantu ujiannya. Karena memang hanya catatan itulah yang dia punya. Waktu SMA dulu ayahnya tidak sangup memelikan buku pelajaran. Wati hanya mengandalkan buku temannya dan mencatat poin-poin penting yang ada dalam buku itu.

Hari telah senja, bumi telah diselimuti langit berwarna keemasan. Setelah shalat magrib Wati berkemas dan bersiap untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Ditemani saudaranya tadi dengan membawa sebuah tekad dan harapan Wati berangkat. Batuh dua kali naik angkutan kota untuk bisa sampai ke kampus tempat Wati ujian dari rumah keluarganya.

Wati telah sampai di kampus tempat dia mengikuti ujian. Karena ujian akan dimulai lima belas menit lagi, Wati duduk dulu di sebuah bangku di temani saudaranya tadi. Kembali dipriksa perlengkapan ujian oleh Wati. Semuanya sudah lengkap dan Wati segera masuk ke lokal.
“Uni, masuk dulu ya Ana”
“ ya uni, hati-hati ujiannya uni. Semoga sukses”, saudaranya tadi menyemangati. “biarlah saya menunggu uni di sini saja”, imbuh saudaranya tadi.
Wati tersenyum dan berlalu masuk ke lokal.

Hampir dua jam Wati berkutat dengan soal-soal ujian yang dierikan pengawas. Semua sola berhasil dijawab oleh Wati. Dilihatnya kembali lembar jawabanya itu untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Semua beres, dan Wati tersenyum. Segera dikmpulkannya lembaran jawaban kepada pengawas dan tidak lupa Wati melemparkan senyum termanisnya dan mengucapkan terimakasih, lalu keluar dari ruangan ujian dan  menghampiri saudaranya yang telah lama menunggunya.

“Bagaimana Uni? Sukses ujiannya?”, sapa saudaranya tadi.
“Alhamdulilah sukses na” jawab Wati dengan senyum tersungging di bibirnya.

Lalu mereka berdua berlalu meningalkan kampus itu setelah menyempatkan diri mampir di papan  pengumuman. Hasil ujian dan kelulusan akan diumumkan seminggu kemudian. Itu artinya seminggu juga lamanya Wati akan diselimuti rasa harap-harap cemas. Berharap agar lulus, dan cemas kalau ia tidak bisa lulus dan mengecewakan ayahnya.
***

Hari itu adalah hari yang sangat dinanti-nati oleh Wati. Pada hari itu akan diumumkan hasil ujian dan siapa yang berhak menimba ilmu di perguruan tinggi itu. Wati telah bersiap untuk melihat hasil ujiannya. Ia berharap menjadi salah seorang dari ribuan nama yang berhak kuliah di kampus itu. Masih ditemani oleh saudaranya Wati bertolak menuju kampu tempat ia ujian dulu.

Sesampainya di kampus, wati segera menuju papan pengumuman dan sudah tidak sabar ingin melihat hasil ujiannya. Sangat ramai manusia berkerumun di depan papan pengumumun kala itu. Memanfaatkan badanya yang mungil Wati akhirnya bisa menyusup ke dalam kerumunan itu. Segera dicarinya namanya di ribuan deretan nama di papan pengumuman itu. Akirnya ditemukannya juga namanya terpampang di papan itu. “Ernawati”, begitu namamya tertulis dipapan pengumuman itu.

“Alhamdulilah, Aku lulus” ia membatin dan segera keluar dari kerumunan itu, lalu menemui saudaranya yang juga harap-harap cemas menunggu berita dari wati yang berdiri tidak jauh dari kerumunan itu.

“Ana, alhamdulilah uni lulus”, Wati bersorak girang sembari memeluk saudaranya.
“Selamat uni”, jawab Ana dengan mata berkaca-kaca karena bahagia.
Setelah puas meluapkan kebahagian lalu mereka berdua pulang ke rumah. Dalam bercalanan pulang tidak henti-hentinya bibir wati mengucapkan syukur kepada Allah. Allah betul-betul telah mendengar do’anya dan mengabulkan pinta gadis itu.
***

Hari itu adalah hari pertama Wati si anak petani kuliah. Dia  tidak lagi tinggal di rumah saudaranya. Dengan alasan ekonomi Ia harus kos di dekat kampus tempat dia kuliah. Hal itu dilakukan agar bisa menghemat waktu dan biaya Wati selama kuliah. Di kos itu juga Wati menemukan teman baru dam mulai membiasakan diri dengan kehidupan baru. Hanya satu yang tidak berubah dari seorang Wati, yaitu kesederhanaannya.

Selama kuliah wati hidup penuh kesederhanaan. Uang belanja yang diberikan ayah dan iunya betul-etul dia manfaatkan sebaik mungkin. Pantang baginya menghambur-hamburkan uang untuk hal yang tidak penting. Hebatnya lagi, ditengah keterbatasan uang belanja yang diberikan orang tuanya Wati masih bisa untuk menabung. Jika kawan ingin tahu berapa uang belanja yang diberikan orangtuanya untuk Wati, maka jawabnya adalah “sangat kurang” untuk kehidupan mahasiswa saat ini. Namun, dengan keadaan seperti itu Wati tetapbisa juga makan dan kuliah.

Begitulah kawan jika sebuat tekad untuk sukses telah terpatri kuat di hati. Uang dan keterbatasan ekonomi tidak lagi jadi soal dan masalah untuk bisa mengapai impian dan cita-cita. Betul kata orang bijak, “jika ada kemaun, pasti ada jalan”. Dan itu sudah dibuktikan dengan baik oleh seorang Wati, anak seorang petani miskin dari sebuah kampung untuk kita jadikan pelajaran.

Tiga tahun lamanya Wati menimba ilmu di kampus keguruan itu. Banyak suka dan duka yang telah dirasakannya. Suka dan duka itulah yang akan menjadi sejarah manis yang akan dikisahkan kepada anak cucunya kelak. Berbagai ilmu telah didapatkannya selama tiga tahun di kampus itu. Terlebih ilmu pendidikan.  

Seorang wati akan diwisuda dan telah siap dinobatkan sebagi seorang guru. Bukan main senangnya ayah Wati mendengar berita itu. Beliau hanya bisa tersenyum dan matanya berkaca-kaca karena bahagia.  Akhirnya dengan segala keterbatasannya petani itu bisa juga menyampaikan cita-cita yang telah lama dirajut oleh anaknya.

Setelah diwisuda, Wati kembali ke kampungnya untuk menerapkan dan berbagi ilmu pengetahuannya. Wati telah menjadi seorang guru di Madrasah Ibtidaiyah Swasta tempat dia bersekolah dulu. Meskipun bukan guru tetap, namun Wati cukup bahagia menjalani pekerjaan barunya itu.

Berselang enam bulan kemudian Wati diangkat sebagai seorang guru tetap di sebuah SMA dan masih tetap di kampungnya. Namun jaraknya agak jauh dari rumahnya. Di SMA itulah Seorang Wati mengabdikan ilmunya sampai sekarang. Cita-citanya untuk bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi orang di sekitarnya telah terwujud.


 ──Untuk seorang ibu yang luar biasa──

*oleh: Heru Perdana P __Mahasiswa Ekonomi Islam IAIN Imam Bonjol Padang

[ Selengkapnya...]
Label:

Begitulah hidup


Lama aku menunggu kedatangan sebuah travel  yang telah aku pesan dari tadi siang untuk mengantarkan aku pulang ke kampung halaman tercinta, tanah tumpah darahku. Sambil menunggu aku sempatkan bercengrama sembari sesekali bercanda dengan teman-temanku di rumah. Hari sudah sore, mentai hampir terbenam di ufuk barat sana, namun travel itu juga kunjung datang. Agak gelisah juga aku menunggu.

Aku ambil handphoneku yang terletak di atas meja di samping sebuah televisi, sambil melihat jam di diding yang telah menunjukan pukul 05.45 sore aku telpon kembali sopir travel itu. “Uda sadang di jalan menuju ke situ”, begitu suara ku dengar dari seberang sana. Sepuluh menit berselang travel telah berdiri dengan gagah di depan rumahku dan siap melarikan ku ke kampong halamanku yang telah lama tidak aku lihat. Setelah pamit aku segera melompat ke atas travel itu dan duduk di bangku belakang.

***

Travel telah melaju meninggalkan rumahku. Sang sopir pun segera memutar musik dari sebuah tape player yang ada di dalam mobil itu. Karena penumpang yang ada di dalam mobil itu lebih banyak orang tua, maka seolah mengerti selera orang-orang tua, sang sopir memutar lagu-lagu daerah──minang─. Karena memang kebanyakan  orang tua itu lebih senang mendengar lagu-lagu minang. Dan aku yang berada di dalam mobil itu harus ikut juga mendengarkan dan menikmatinya saja. Karena jika memprotes lalu diadakan voting layaknya pemilu, sudah jelas aku kalah suara.

Ada sebuah anekdot dalam lagu tersebut yang telah mengusik pikiranku dan membuatku termenung. Sebuah anekdot ringan namun sarat makna. Kira-kira anekdotnya itu ceritanya begini.

Alkisah, sebelum manusia diciptakan dan diturukan ke dunia ini, konon katanya Tuhan terlebih dahulu menciptakan kuda. Kuda telah diciptakan, lalu Tuhan berkata kepada kuda, “wahai kuda, engkau telah aku ciptakan. Aku beri engkau umur enam puluh tahun dan, kerjamu hanya menggangkat dan menangung beban saja”.

Mendengar tugasnya hanya sperti itu kuda  protes, “Tuhan kalau tugasku hanya mengagut dan menaggung beban maka kurangilah umurku”.

“Baiklah, umurmu Aku kurangi jadi tiga puluh tahun”, jawab Tuhan setelah mempertimbangkan. Maka berlebihlah unur kuda tiga pluh tahun lagi. Lalu kuda segera diturunan ke bumi.

Kemudian Tuhan ciptakan anjing. Setelah diciptakan, Tuhan juga berkata kepada anjing, “wahai anjing, engkau kuciptakan dan akan ku beri umur selama dua puluh tahun, lalu kerjamu hanya menjaga rumah saja”.

Mendegar penjelasan Tuhan, anjing pun protes, “wahai Tuhanku, kalau hanya untuk menjaga rumah Engkau ciptakan aku, maka kurangilah umurku”. Tuhan menyetujui dan mengurangi separuh dari umur anjing tersebut. Maka umur anjing juga bersisa sepuluh tahun.

Setelah anjing diciptakan, lalu Tuhan menciptakan monyet. Kemudian Tuhan juga berkata kepada monyet, “wahai monyet, engkau Aku ciptakan dengan umur dua puluh tahun dan kerjamu hanya menghibur saja”.

Mendengar kerjanya hanya menghibur layaknya kuda dan anjing, monyet juga meminta umurnya dikurangi. “Wahai Tuhanku, jika kerjaku hanya menghibur, maka sudilah kiranya Engkau mengurang jatah hidupku”, pinta monyet kepada  Tuhan. Permintaan monyet dikabulkan dan umurnaya dikurangi sepuluh tahun, maka bersisa umur monyet sepuluh tahun lagi. 

Terakhir, barulah Tuhan menciptakan manusia. Kemudian Tuhan pun berkata kepada manusia, “wahai manusia, Aku ciptakan engkau dan akan Ku beri umurmu selama dua puluh tahun. Kerjamu hanya bersenang-senag saja”.

Mendengar hal itu, muncullah sifat serakah manusia. Karena hidupnya hanya untuk besenang-senang saja, maka manusia meminta tambahan umur kepada Tuhan.

“Wahai Tuhanku, sudilah kiranya Engkau menambah umurku, karena duapuluh tahun itu telalu sedikit buatku”, rengek manusia kepada Tuhan.

Tuhan pun menyetujui permohonan manusia, “baiklah, wahai manusia. Akan Aku tambah umur engkau. Ambil lah sisa umur kuda, anjing dan monyet”. Manusiapun setuju dan segera diturunkan ke bumi.

Dua puluh tahun pertama kehidupan manusia di bumi memang hanya untuk bersenang-senang saja. Jika kekurangan, tingal minta kepada orang tua. Lalu setelah itu barulah manusia masuk kepada tiga puluh tahun usia kuda dan mulai menaggung beban hidup. setelah tigapuluh tahun usia kuda berlalu, manusia mulai memasuki usia anjing dan hanya bisa tinggal dan menjaga rumah saja. Selanjutnya baru manusia masuk pada fase usia monyet yang kerjanya hanya menghibur-hibur cucu. Karena memang hanya itu pekerjaan yang bisa dilakukan oleh manusia pada usia itu.
***

Begitulah anekdot yang aku dengar dari tape yang ada di dalam mobil itu. Meskipun hanya disampaikan lewat canda dan lagu, namun cukuplah untuk membuat aku termenung dan berfikir, ternyata memang begitulah kehidupan kita. Betul kata orang bijak, bahwa hidup itu berputar. Anekdot itu juga menyinggung bahwa dalam diri kita ini masih terdapat sikap serakah. Jika sikap itu tidak bisa kita taklukan dengan baik, maka dia akan jadi raja dalam diri kita dn akan membuat hidup kita hancur berantakan.

Kawan, mari kita  selami lagi maksud anekdot yang telah aku ceritkan tadi. Anekdot tadi sebenarrnya sederhana saja,hanya bercerita tentang siklus hidup manusia dan sikap serakah yang bersemayam di dalm hati manusia. Jika kita tela’ah dengan baik, maka akan banyak hikmah yang akan kita temukan  di dalamnya.

Sesuai dengan anekdot tadi, dua puluh tahun pertama hidup kita─manusia─ memang hanya untuk bersenang-senang saja, atau paling tidak kita tidak perlu berfikir tentang kehidupan. Kenyataan ini sulit untuk kita pungkiri. Bagaimana tidak, pada rentang usia kita dari satu sampai dua puluh tahun ini kita masih mengandalkan orang tua. Jika kita lapar tinggal makan makanan yang telah disiapkan oleh ibu kita. Begitu juga jika kita perlu uang, apakah itu untuk belanja, biaya sekolah, biaya kuliah dan untuk biaya-biaya yang lainnya, kita juga tinggal minta saja pada orang tua kita tanpa mau tau dari mana uang itu berasal. Buat kita yang penting kebutuhan terpenuhi.

Barulah ketika manusia memasuki fase dewasa,kita mulai merasakan pahitnya hidup. kita mulai menaggung beban. Inilah fase hidup kuda yang aku maksudkan dalam anekdot tadi. Pada rentang waktu tiga puluh tahun dalam fase ini manusia harus berjuang untuk hidupnya. Manusia mulai banyak menaggung beban, menaggung keluarganya jika ia sudah berkeluarga. Memikirkan biaya dan kebutuhan sekolah anaknya. Dan beban-beban kehidupan lain yangsuka atau tidak harus ditanggung oleh manusia.

Setelah berlalu tiga puluh tahun tadi manusia mulai memasuki masa pensiun atau mungkin sudah mulai tidak sangggup lagi bekerja. Anak-anak mereka pun telah tumbuh dewasa dan sudah bisa hidup mandiri. Pada saat inilah manusia memasuki fase umur anjing sebagai mana yang disebutkan dalam enekdot di atas. Manusia pada usia ini akan lebih banyak menghabiskan hari-harinya di rumah sekaligus menunggui rumah sementara anak-anak mereka keluar dan bekerja. Fase ini jika umurnya manusia panjang maka akan dilanjutkan dengan fase di mana manusia sudah berumur lanjut dan kerjanya hanya menghibur dan mengasuh cucu dari anak-anak mereka, layaknya monyet dalam anecdot tadi. Begitulah siklus kehidupan manusia.

Kawan, ketika manusia meminta tambah jatah umur kepada Tuhan, di saat itulah sejatinya naluri keserakahan manusia bekerja. Dan sering kali keserakahan itu mengalahkan akal sehat manusia. Sifat itu terpatri sampai saat ini dalam hati manusia. Sifat seperti itu perlu dikendalikan dengan baik dan dijinakkan. Jika tidak maka sifat seperti itu akan mengantarkan manusia kepada sebuah peteka. Betapa banyak kita lihat manusia di luar sana yang telah diperbudak oleh keserakahannya. Keserakahan juga yang telah mengantarkan manusia kepada jurang kesengsaraan.

Karena hidup kita berputar layaknya roda eiring dengan beputarnya waktu, maka kita harus siap untuk itu. Kita jangan sampai ditipu oleh waktu dn kesenangan ketika masih muda. Sudah seharusnya kita isi kepala dan dada kita dengan berbagai ilmu pengetahuan agar ketika kita dihadapkan kepada masa di mana kita harus menangung dan memikulbeban kehidupan, kita bisa menjalaninya dengan baik. Dan kita juga harus berhati-hati  untuk tidak silau dengan segala kemewahan dan kemegahan dunia, agar tidak di perbudak oleh nafsu keserakahan.

*Heru Perdana P ──Sebuah Catatan──

[ Selengkapnya...]
Label:

Persahabatan dan lika-likunya

Manusia merupakan makhluk sosial. Itu artinya kita selaku manusia, tidak akan mampu hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Karena kita tidak akan mungkin mengigkari kodrat kita sebagai makhluk sosial. Bagaimana pun juga kita tetap memerlukan bantuan orang lain dalam kehidupan ini. Saya, anda dan kita semua butuh teman dan sahabat untuk melangsungkan kehidupan kita. Adalah bohong jika ada orang yang mengaku dia tidak butuh sahabat ataupun teman. Terlalu sombong seseorang jika mengatakan mampu hidup sendiri tanpa hadirnya seorang sahabat dan orang lain dalam kehidupannya.

Kehadiran seorang teman dan sahabat memang penting dalam kehidupan kita. Dengan alasan apapun itu tidak bisa kita pungkiri. Namun mencari seorang teman untuk dijadikan sahabat di kala suka dan duka bukanlah perkara mudah. Mencari seorang sahabat sejati itu tidak semudah membalikan telapak tangan. Akan tetapi, mendapatkan seorang sahabat sejati juga bukan suatu hal yang mustahi. Hanya saja semuanya butuh proses dan usaha. Untuk mewujudkan itu hanya perkara waktu saja. Cepat atau lambat kita akan bisa menemukan sahabat sejati asal kita mau membuka diri. 

Dalam mencari dan memilih sahabat kita jugatidak boleh sembarangan saja. Karena ada orang bijak yang berpetuah seperti ini, “memilih seorang sahabat sama artinya dengan memilih masa depan kita”. Karena sahabat adalah cerminan diri kita sendiri. Teman yang ada ketika kita sedang bahagia, namu menghilang ketika kita sedang duka dan dirundung masalah bukanlah sahabat. Maka berhati-hatilah dam memilih dan menentukan sahabat.


Hadirnya seorang sahabat sangat berarti dalam hidup kita. Sahabat adalah orang yang nantinya kita harapkan ada ketika kita dirundung masalah kapan dan di mana pun kita berada. Ketika ada masalah dengan keluarga, ketika kita memiliki masalah di kampus, juga ketika kita ada masalah di lingkungan tempat tinggal kita dan dalam keadaan-keadaan sulit yang tidak mungkin kiranya kita lalui seorang diri. Hadirnya seorang sahabat akan sangat membantu buat kita dalam melewati masa-masa sulit. Sahabat bisa membarikan kita nasehat. Sahabat bisa menawarkan kita kenyamanan. Dan sahabat juga merupakan orang yang akan mendukung kita di kala sedang dilanda kesedihan. Ya, begitulah sejatinya sahabat. 


Kita harus sadari bahwa persahabatan tidak akan berjalan baik dan lancar-lancar saja. Kita juga harus siap bahwa konflik dan perselisihan akan turut serta mewarnai jalinan pershabatan kita, yang butuh kelapangn dada dan kejernihan pikiran dalam menyikapinya. Jika tidak pandai-pandai dalam menyikapinya maka hal itulah nantinya yang akan menjadi perusak dan bahkan bisa jadi pemutus tali pershabatan yang telah terjalin kuat. Namun jika kita bisa menyikapinya dengan arif lagi bijaksana maka konflik dan perselisihan itu kan menjadi bumbu penyedap dalam jalinan persahabatan. Bukan tidak mungkin jika disikapi dengan bijak hal itu akan menjadi lem perkat menambah eratnya tautan hati dalam persahabatan. Perselisihan pendapat dan konflik dalam persahabatan itu adalah hal biasa, yang penting itu adalah bagaiman cara kita menghadapi dan menyikapi konflik dan perselisihan itu.


Kadang kita sering kali lupa bahwa persahabatan itu perlu dijaga dan dipupuk layaknya tanaman. Jika tanaman dipupuk dengan pupuk buatan manusia, maka pershabatan juga harus dipupuk dengan saling mengahargai. Apabila tanaman disiram dengan air, maka persahabatan juga perlu disirami dengan kasih sayang dan timbang rasa secara dewasa. Jangan pernah mengabaikan sekecil apapun bantuan dari seorang sahabat, tanggapi dan hargailah secara wajar. Kadang kita hanya menuntut untuk dipahami tanpa mau memahami. Jika kita telalu lama tidak memupuk dan menyiram persahabatan, layaknya tanaman persahabatan itu juga bisa layu dan mati di dalam hati kita.


Sebelum persahabatan itu retak dan pecah berkeping-keping, maka sudah seharusnya kita menjaga dan merawatnya mulai dari sekarang. Orang bijak pernah mengatakan, “mencegah itu lebih baik dari mengobati”. Jagalah persahabatan dengan tetap berkomunikasi dengan teman. Di abad yang serba canggih ini tidak ada sulitnya untuk berkomunikasi dengan seorang sahabat walaupun dipisahkan oleh jarak, ruang dan waktu. Kita bisa gunakan bebagai media kumunikasi abad 21 untuk tetap menjaga hangatnya persahabatan. Telephone, hendphone, Facebook, dan saudara-saudaranya yang lain bisa membantu kita untuk melakukan itu semua. Tidak akan menyita waktu berjam-jam untuk mengirim sebuah SMS kepada seorang sahabat hanya untuk menyapa dan menanyakan kabarnya. Namun efeknya akan dapat mempererat tali persahabatan.


Berbicara dengan kepala dingin dan hati yang lapang dengan sahabat jika ada pertentangan pendapat atau konflik dalam persahabatan juga merupakan bagian dari cara menjaga utuhnya sebuah jalinan persahabatan. Ajaklah teman pergi jalan-jalan ke pantai atau hanya sekedar pergi minum kopi, lalu selesaikan dan bicarakan setiap persoalan dan permaslahan yang menganjal di hati dengan cerdas dan penuh kedewasaan. Jangan biasakan menyimpan dan memendam masalah sendiri apa lagi masalah itu menyangkut masa depan persahabatan, karena itu jika berlangsung lama maka akan berpotensi sebagai pemecah dan pemutus tali persahabatan.


Percayalah, tidak ada ruginya menjaga dan menjalin tali persahabatan.!!



*Oleh: Heru Perdana P

[ Selengkapnya...]
Label:

Paul Scholes, si Pemalu

Hanya ada sedikit pemain yang loyal dengan satu klub sepanjang kariernya. Salah satunya adalah Paul Scholes, salah seorang gelandang terbaik digenerasinya. Sama seperti Francesco Totti atau Paolo Maldini. Bersama Ryan Giggs, Scholes adalah pemain yang menghabiskan seluruh karirnya untuk membela Manchester united, sama sekali tak pernah berfikri untuk mencari klub lain kendati banyak tawaran main dari berbagai klub besar lainnya.

Ketika David Beckham baru pertama kali berlatih bersama tim Madrid, pertanyaan yang pertama kali muncul dari rekan barunya bukan bagaimana rasanya pindah ke Spanyol. Bukan pula akan tinggal di daerah mana di Madrid. Tentu saja bukan tentang isterinya, Victoria Adams alias Posh. Tetapi, “bagaimana rasanya bermain satu tim dengan Paul Scholes ?” Ya, Paul Scholes. Si wajah pucat yang merupakan gelandang serang Manchester United. Walaupun penggemar bola sering meremehkan pemain ini tapi dalam lingkungan sepakbola Eropa namanya memang dihormati dan dijunjung tinggi.

Dia merupakan salah satu anggota generasi emas Manchester united bersama David Beckham, Ryan Giggs, Nicky Butt, serta Neville bersaudara (Phil Neville dan Garry Neville). Tapi disbanding dengan rekan angkatannya itu Scholes seperti lepas dari radar.


Mungkin ini tak lepas dari pribadi Scholes yang pemalu dan sengaja menutup diri dari sorotan media. Dia sendiri jarang memberikan wawancara kepada wartawan, tidak pernah datang ke pesta selebriti apalagi keluyuran di club malam, sangat pendiam bahkan dengan teman-teman akrabnya. Konon selama hampir dua puluh tahun bermain sepakbola Scholes hanya empat kali memberi wawancara eksklusif. Sungguh pribadi yang tertutup. Salah satu dari sedikti pesepakbola yang tidak memiliki agen, seluruh negosiasi kontrak diurus oleh dirinya sendiri.


Ketika dipertandingan Scholes beraksi sangat hebat dan wartawan berebut untuk mewawancarainya dia langsung menghilang dari peredaran, orang tak akan tahu apa yang dipikirkannya. Jika di lapangan dia adalah seseorang yang berbahaya bahkan bisa menjadi predator bagi lawan-lawanya, tapi begitu pertandingan usai dia langsung berubah jadi pribadi yang pendiam.
Scholes termasuk yang enggan mengespresikan diri kecuali di lapangan. Setelah Eric Cantona mundur dialah yang menjadi denyut permainan MU. Permainan satu-duanya diakui pesepakbola sebagai yang terbaik di Eropa.


Imajinasinya dalam memberi umpan tidak lumrah. Yang hebatnya, menurut Ruud Gullit, mantan bintang tim Orange dan AC Milan ini mengatakan bahwa Scholes melakukan semua itu dengan sangat sederhana, bagi penonton yang menyaksikannya mungkin terlihat biasa-biasa saja, tapi lawan dan rekannya sering terbengong-bengong. Luar biasa !


Tak hanya sebagai pengalir serangan, dia juga bisa menciptakan gol-gol spektakuler lewat kepala dan tendangannya yang terkenal keras dan akurat, terbukti dari 458 kali tampil bagi MU ia sudah mencetak 102 gol, hmm…tidak buruk untuk seorang gelandang.


Menyebut sukses MU orang akan menyebut pemain seperti : Eric Cantona, Ryan Giggs, David Beckham, Nicky Butt, Keane, Neville bersaudara, bahkan Ronaldo dan pemain-pemain besar lainnya, Tapi cabutlah Paul Scholes dari tim Manchester united maka semua bintang itu akan mengatakan jangan.
Saat ia memilih mundur dari Tim nasional isu yang beredar adalah Sven Goran Eriksson memainkanya di posisi yang bukan menjadi posisinya dan bosan dengan gaya permainan yang ditampilkannya. Tapi dia tak pernah mengatakan apapun. Tidak mengkritik, tidak menjelekan, atau mencela. Steve McLaren yang menggantikan Eriksson berulangkali membujuknya untuk masuk tim nasional Inggris, berulangkali pula ia menolaknya dengan alasan untuk meluangkan waktu bagi keluarga.


Bahkan diusianya yang ke-35 disaat kemampuannya sudah berkurang terutama staminanya untuk menusuk kotak penalti, Fabio Capello tetap memanggilnya untuk dibawa ke Afrika Selatan namun Capello sudah menutup pintu untuk pemain dengan profil besar di Inggris, David Beckham dengan alasan sudah terlalu tua, dan Scholes kembali menolak dengan alasan salah satunya tidak enak dengan pemain Inggris yang sudah berjuang selama kualifikasi.


Ketika Manchester United bertemu AC Milan di Liga Champions. Di hadapan wartawan pelatih Milan saat itu Carlo Ancelotti (kini melatih Chelsea) mengatakan tidak ada satupun pemain MU yang akan masuk ke 11 pemain utama Milan. Padahal di situ ada Ryan Giggs, Cristiano Ronaldo atau Wayne Rooney dan sejumlah nama lain. Tapi Ancelotti kemudian terdiam sejenak lalu berkata, “yahh…kecuali Paul Scholes”.



Oleh Aulia Fikri__dari berbagai sumber

[ Selengkapnya...]
Label:

Waspadai Serangan Jantung

DEWASA ini, pasien jantung cenderung meningkat, terutama di kota-kota besar. Gaya hidup tidak seimbang ditengarai merupakan pemicu utama serangan jantung.

Data terakhir World Health Organization (WHO), serangan jantung mendadak masih menjadi pembunuh manusia nomor wahid di negara maju dan berkembang dengan menyumbang 60 persen dari seluruh kematian. Sementara di Indonesia, 17 juta orang di seluruh dunia meninggal setiap tahun akibat penyakit jantung dan penyumbatan pembuluh darah.

Pada umumnya, masyarakat akan mengaitkan pola dan jenis makanan sebagai penyebab penimbunan plak pada saluran arteri yang kemudian berakibat serangan jantung.

Gejala serangan jantung

Sebuah sumbatan di arteri jantung mengurangi atau sama sekali memotong suplai darah ke sebagian jantung. Hal ini menyebabkan bekuan darah dan menghentikan aliran darah arteri koroner, sehingga terjadi serangan jantung.

Serangan jantung biasanya terjadi saat bantuan medis tidak segera diterima. Sayang, sudah umum bagi orang untuk mengabaikan gejala serangan jantung. Apa saja tanda-tanda peringatan dari serangan jantung? Simak paparan The American Heart Association, seperti dikutip dari MedicineNet berikut:

1. Tekanan tidak nyaman, rasa sesak, sensasi diremas, atau nyeri di tengah dada yang berlangsung lebih dari beberapa menit.
2. Nyeri menjalar ke leher, bahu, perut bagian atas, rahang, dan lengan bagian dalam. Rasa sakit mulai dari ringan hingga intensif.
3. Mual, tubuh berkeringat, sakit gigi, sakit kepala.
4. Cemas, gugup dan/atau kedinginan.
5. Wajah pucat.
6. Meningkatnya atau denyut jantung tidak teratur.

Mengetahui tanda-tanda peringatan dini serangan jantung sangat penting untuk penanganan dan pengobatan segera. Sebab, banyak serangan jantung dimulai secara perlahan hingga banyak penderitanya tidak yakin dengan kondisi yang dialaminya.

Gejala serangan jantung bervariasi antara tiap individu, bahkan seseorang yang telah mengalami serangan jantung bisa memiliki gejala berbeda dalam serangan jantung berikutnya.

*Dari berbagai sumber

[ Selengkapnya...]
Label:

Tips & Trik Komputer

Pada kesempatan ini penulis akan mencoba memberikan tips & trik singkat kepada pembaca semua seputar ilmu komputer bagi anda yang melek mengotak-atik komputer


1. Tips Menggerakan Kursor Tanpa Mouse

Berikut saya memberikan tips untuk menggerakkan kursor dengan keyboard apabila mouse anda rusak atau anda hanya ingin coba-coba. Baiklah, Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:

a. Tekan tombol ALT (sebelah kiri)+Shift (sebelah kiri)+NumLock secara bersamaan.
Cara ini akan memunculkan windows MouseKeys.

b. Selanjutnya klik tombol Settings, beri tanda centang pada pilihan Use MouseKeys.
Nah sampai disini fungsi mousekeys sudah aktif.
lanjut baca.....>>

Silahkan coba menggerakkan kursor menggunakan tombol-tombol angka di keypad numerik.
Angka 1, 2, 3, 4, 6, 7, 8, dan 9 digunakan untuk menggerakkan kursor ke atas, bawah, samping kanan/kiri, dan ke arah diagonal.
Sedangkan angka 5 berfungsi seperti tombol “klik” pada mouse.
Untuk “drag & drop” gunakan kombinasi angka dengan tombol “insert”.

2.Tips Mempercepat Booting Windows XP

Mungkin anda pernah mengalami booting windows yang sangat lambat sehingga membuat anda sedikit kesal dengan komputer anda
Berikut langkah-langkahnya agar booting windows anda menjadi lebih cepat :

Langkah 1 :
Buka aplikasi notepad pada windows
Ketikkan “del c:\windows\prefetch\ntosboot-*.*/q” (Tanpa tanda kutip/bercetak biru)
dan Save as dengan nama ntosboot.bat dalam drive C:\

Langkah 2 :
Lalu klik menu Start–>Run–> dan ketikkan “gpedit.msc” (tanpa tanda kutip)

Langkah 3 :
Klik Computer Configuration–>Windows Settings–>Script–>lalu klik 2 kali pada Shutdown

Langkah 4 :
Dalam Windows Shutdown Properties klik add lalu browse. lalu cari letak file ntosboot.bat yang anda buat tadi dan klik open

Langkah 5 :
Lalu klik OK ,Apply dan OK sekali lagi untuk menyelesaikannya

Langkah 6 :
Lalu klik menu Start–>Run–> dan devmgmt.msc

Langkah 7 :
Klik IDE ATA/ATAPI controllers–>Primary IDE Channel ( Klik 2 kali untuk membuka properties )

Langkah 8 :
Pilih Advanced Settings
Pada Device 0 atau Device 1
Ganti Device Type menjadi None ( Ganti saja pilihan Device Type yang tidak terkunci )

Langkah 9 :
Klik IDE ATA/ATAPI controllers–>Secondary IDE Channel ( Klik 2 kali untuk membuka properties )
Ulangi seperti Langkah 8

Langkah 10 :
Restart Komputer anda dan anda bisa lihat perubahannya.

Mungkin saat ini saya baru bisa meberikan 2 tips tersebut mudah-mudahan dapat berguna atau setidaknya menambah pengetahuan bagi pembaca, lain kali kalau saya ada tips-tips lainnya, saya akan bagi pada pembaca semua, oh..ya tolong kirim kritik & sarannya ya, Trims



sumber : Blog Aulia Fikri

[ Selengkapnya...]
Label:

Ketelitian, Prinsip dan sebuah Perjuangan

Pagi itu tidak begitu cerah. Mentari seolah malu-malu memancarkan cahayanya. Awan masih setia bergelayut di langit menutupi ganasnya sengatan matahari. Pagi itu aku berangkat menuju kota Solok menemani seorang guruku sesuai dengan janjiku dengan beliau setelah sempat dua kali tertunda. Dengan mengendarai motor keluaran Jepang, kami berangkat menuju kota Solok sekitar pukul 09.10 WIB dengan membawa sebuah harapan seraya mengaharap ridho yang Maha Kuasa setelah sebelumnya mampir dulu ke kantor POS dan mengisi bahan bakar di SPBU.

Motor mulai dipacu menyusuri setiap jengkal aspal hitam yang dihiasi oleh lobang-lobang akibat ulah para sopir truk yang selalu saja kelebihan muatan. Ditmbah lagi dengan debu-debu jalanan yang membuat perih mata.

Tidak terasa kami telah memasuki medan yang cukum menantang. Tikungan tajam dan dihiasi lobang serta aspal yang begelombang dan membuat motor tidak bisa berlari kencang. Pendakian yang terjal yang telah membuat motor kami kehilangan tenaga untuk berlari kencang. Belum lagi suara truk-truk pengangkut batu bara yang meraung-raug di pendakian serta jurang yang terjal di samping kanan jalan membuat aku yang mengemudikan motor saat itu harus ekstara hati-hati, karena jika lengah sedikit saja mungkin nyawa kami berdua yang akan jadi taruhannya. Tentu saja aku tidak mau kelalaian membuat diriku tamat kalimat di jalan raya dan mengisi sejarah perjalannan hidupku.

Udara dingin khas pegunungan telah terasa menerpa wajahku. Medan yang kami lalui juga tidak seekstrim tadi. Lobang dan aspal yang begelombang sudah berkurang. Motor jepang yang kami tunggangi tadi juga sudah mulai menemukan tenaganya lagi dan siap berlari kencang mengantarkan kami menuju kota Solok. Motor dengan tenaga penuh meliuk-liuk di tikungan menyusuri aspal yang hitam. 


Sejurus kemudian setelah melewati sebuah tikungan aku dan guruku dikejutkan dengan segerombolan polisi lalu lintas yang tengah razia. Mereka menghetikan setiap mobil dan beberapa motor yang lewat. Untung saja kami bukan salah satu di antara pengendara yang dihentikan dan tidak perlu mendengarkan sapaan khas pak polentas berikut beberap pertanyaan klsiknya. Biasanya polisi itu akan menyapa dengan sapaan seperti ini, “selamat siang pak, maaf menganggu perjalanannya”. Dan biasanya sapaan tersebut juga akan dilenjukan dengan sebuah pertanyaan yang masih juga tetap klasik karena tidak pernah diubah redaksinya dari dulu. Pertanyaan seperti ini, : ”bisa diperlihatkan SIM dan STNKnya pak?” dan jika sedang malang sapaan dan pertanyaan klasik tadi juga akan bisa berangkai dengn beberapa pertanyaan lain dan tidak jarang berujung pada selembar surat tilang tau tawar menawar hukum bak menawar kipas angin bekas di pasar loak.


Melintasi gerombolan polisi itu motor ku pacu saja dengan gontai sembari memperhatikan mereka menananyi pengendara yang mereka hentikan. Motor terus ku pacu dengan kecepatan sedang dan sesekali-kali meliuk menyalip beberapa truk batu bara yang beriring rapi bagaikan itik pulang senja yang berjalan gontai. Perjalanan terus berlanjut sembari kami bercengkrama tentang berbagai hal termasuk pemandangan yang baru saja kami lihat tadi. Di sela-sela cengkrama kami aku sempat menanyakan tentang kelengkapan surat-surat motor. STNK ada, dan SIM pun sudah di tangan. Tidak ada lagi yang perlu dirisaukan, begitu batinku bergumam.


Namun, belum selesai kami berbincang soal peandangan tadi, aku dan guruku sudah dikejutkan dengan sekelompok polisi berseragam lengkap sedang mengelar razia dan lebih banyak dari yang kami temukan sebelumnya. Kali ini semua kendaraan diberhentikan oleh mereka tak terkecuali motor yang kami tunggangi. Karena merasa lengkap, dengan pedenya akupun segera menepi dan berhenti. Lalu seorang polisi mengahampiri kami dan mengucapkan salam klasik seperti yang ku sebutkan tadi.


Aku segera menunjukan SIM dan STNK. Dipandangnya SIM dan STNK tersebut sembari sesekali dia melihat ke arah wajahku, seolah ingin mencocokkan foto yang ada di SIM itu adalah aku. Dan sayangnya aku dan guruku adalah salah satu dari orang yang sedang tidak beruntung kala itu dan harus mendapatkan pertanyaan lain dari polisi tersebut. Ternyata lampu rem motor yang kami kendarai warnanya bening dan itu menyalahi.


“Ini kenapa kok lampu remnya bening?”, begitu pak polisi berseragam lengkap dengan tanda pangkat di bahu menanyaiku. Aku diam saja dan mengerenyitkan dahi, tidak tahu mau jawab apa.


“Mari kita selesaikan di sana!”, ajaknya sambil menunjuk sebuah mobil patroli. Bagai kerbau yang ditusuk hidungnya aku mengikuti polisi itu. Selembar surat tilang dikeluarkanya. Dan aku masih saja tetap diam. Sebelum dia menulis surat tilang tersebut masih sempat aku melihat tatapan wajah polisi berpangkat briptu ──yang belangkan aku ketahui dari selembar surat tilang yang aku terima── kepada kami seolah mengisyaratkan kami mau melakukan tawar menawar hukum dengannya. Namun kami tidak melakukannya dan hanya diam menungu dia selasai menulis surat tilang.


Sambil menunggu pak polisi itu selesai menulis, di dalam diam aku mengutuk diriku. Kenapa aku tidak pastikan kalau motor yang kami bawa itu aman. Aman dari resiko kecelakaan dan aman dari razia polisi. Ya, begitulah kekhilafan dan kecerobohanku. Andai saja aku mengamalkan dan tidak mengabaikan sebuah kata “ketelitian” yang sering diteriak-teriakan di depan kelas oleh guruku kala aku masih memakai seragam sekolahan dulu, muungkin saja hal itu tidak akan terjadi dan kami tidak perlu berurusan dengan polisi dan harus mengikuti siding seminggu setelahnya. Ternyata sebuah ketelitian memang sangat penting dalam hidup ini. Satu pelajaran yang dapat aku petik, jangan sekali-kali abaikan kata-kata “ketelitian” jika kamu tidak mau berurusan dengan polisi dan harus mengiuti sidang. Ketelitian adalah kata sederhana yang jika diabaikan akan membuat masalah bagi yang mengabaikannya.


Setelah menyelesaikan semuanya dan menerima selembar surat tilang dari polisi berpangkat briptu tadi, kami kemudian melanjutkan perjalanan kembali. Di jalan aku bertanya kepada guruku.


“Ustadz──begitulah aku dari dulu memanggil beliau── kenapa tidak dikasih uang saja dan kita tidak usah repot-repot lagi ke solok untuk sidang”, ujarku. 


Dengan tenang beliau menjawab, “ini adalah masalah prinsip, bukan soal uang dan waktu. Ustadz, hanya tidak ingin melangar prinsip yang telah jadi harga mati dan tidak bisa ditawar lagi. Kita pernah menulis tentang itu, tidak mungkin bukan kita sendiri yang akan melanggarnya? Jika berbicara saja lalu dilanggar maka akan diganjar dengan “kaburamaqtan” sebagaiman yang telah termaktub di dalam al-qur’an, apa lagi yang kita tulis dan kemudian kita sendiri yang melanggar di mana semua orang bisa membacanya ”. Aku hanya mengangkuk takzim sembari tetap fokus mengendarai motor yang kami tunggangi.


Satu hal lagi pelajaran yang aku dapatkan di jalan raya Padang-Solok, tentang arti sebuah “prinsip”. Kadang untuk menegakkan sebuah prinsip yang kita buat kita butuh sedikat atau mungkin saja pengorbanan yang banyak. Seperti yang telah kami──Aku dan guruku── alami ini. Kami harus rela ikut ikut sidang dan kembali merogoh kocek untuk biaya trasportasi kami ke Solok seminggu setelahnya serta merelakan waktu kami untuk itu semua. Namun satu keyakinan dalam hatiku, bahwa Tuhan tidak akan sia-sia dengan semua itu. 


Dan pelajaran yang paling berharga dari semua yang telah aku alami itu adalah tentang sebuah harapan untuk menuju kesuksesan itu tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Semua butuh proses dan perjuangan serta pengorbanan. pengorbana uang, waktu, dan pikiran serta perasaan. 


Sukses tiada mungkin tanpa perjuangan, tanpa pengorbanan dan tanpa istiqamah.



*Oleh: Heru Perdana P──Sebuah Catatan──

[ Selengkapnya...]
Label:

Totalitas Total Football

Total Football bagi saya adalah sistem permainan sepakbola yang paling menarik. Tetapi memahami Total Football ternyata tidak segampang yang saya duga. Berulangkali membaca berbagai artikel sepakbola, susah menemukan penjelasan mengapa dan bagaimana Total Football muncul. Hanya dengan memahami mengapa dan bagaimana, kita bisa memahami esensi sesuatu.

Yang standar tentu saja kita tahu bahwa sistem ini pertama kali muncul di Belanda dengan permainan bertumpu pada fleksibilitas pertukaran posisi pemain yang mulus. Posisi pemain sekadar kesementaraan yang akan terus berubah sesuai kebutuhan. Karenanya, semua pemain dituntut untuk nyaman bermain di semua posisi.

Penjelasan paling memuaskan malah bukan saya dapat dari orang Belanda, melainkan seorang penulis Inggris yang tergila-gila dengan sepakbola Belanda. David Winner menulis buku yang kalau diterjemahkan bebas kira-kira berjudul, "Oranye Brilian -- Jenius dan Gilanya Sepakbola Belanda"

Orang Belanda sendiri sampai terkagum-kagum dan mengatakan, ''Ah, jadi begitukah cara berpikir kami.'' Banyak pemain bola Belanda seperti tersadarkan pada sosok yang berada di dalam kaca ketika mereka bercermin.

Winner tidak membahas sepakbola semata. Menurutnya Total Football hanyalah pengejawantahan ''psyche'' paling dasar warga Belanda dalam memahami kehidupan. Benang merah Total Football juga ada dalam karya seni, arsitektur, dan bahkan tatanan sosial budaya masyarakat Belanda.

Berlebihan? Mungkin. Namun penjelasannya sungguh masuk akal.

Kita semua tahu ukuran lapangan sepakbola lebih kurang sama di mana-mana, sehingga ruang permainan selalu sebenarnya sama. Tapi orang Belanda sadar bahwa ruang juga adalah persoalan abstrak di dalam kepala. Membesar dan mengecilnya ruang tergantung pada cara mengeksploitasinya.

Total Football, demikian jelas buku itu, adalah persoalan ruang dan eksploitasinya itu, bukan yang lain. Fleksibilitas posisi pemain, pergerakan pemain, semuanya adalah konsekuensi dari upaya untuk menciptakan ruang agar bisa dieksploitir semaksimal mungkin.

Prinsip dasarnya sebenarnya sangat sederhana. Besar kecilnya lapangan sepakbola walau ukurannya sama, tetapi di benak bisa berubah tergantung siapa yang bermain di dalamnya.

Misalnya, begitu pemain Belanda menguasai bola maka mereka akan membuat lapangan seluas mungkin. Pemain bergerak ke setiap jengkal ruang yang tersedia. Di benak lawan lapangan akan tampak begitu lebar.

Atau, begitu lawan menguasai bola, ruang harus dibuat sesempit mungkin. Pemain yang terdekat dengan pemain lawan yang menguasai bola dituntut untuk menutupnya secepat mungkin, tidak peduli apakah itu pemain bertahan atau bukan. Bisa satu bisa dua, bahkan tiga. Tekanan harus dilakukan secepat mungkin bahkan ketika bola masih ada di jantung pertahanan lawan. Lawan terjepit dalam benak bahwa lapangan begitu sempit.

Memperlebar atau mempersempit ruangan di benak lawan tentu bukan barang mudah. Harus ada kemampuan untuk mencari ruangan. Pergerakan yang kompak. Cara mengumpan bola yang eksploitatif atas ruang yang tersedia, entah melengkung, lurus, melambung, dll. Pendeknya dibutuhkan pemahaman geometri ruangan yang tidak sederhana.

Persoalannya adalah, mengapa hal ini tidak terpikirkan oleh orang lain sebelumnya? Dan mengapa orang Belanda yang bisa melakukannya?

Jawabnya, menurut buku itu, didapat dari kondisi alam Belanda.

Bangsa Belanda secara intrinsik bangsa yang spatial neurotic (tergila-gila oleh ruangan ataupun pemanfaatannya). Kondisi alam memaksa mereka demikian. Lima puluh persen tanahnya berada di bawah permukaan laut. Sementara sisanya terlalu sempit untuk jumlah penduduk yang berjubel.

Terus menerus bangsa ini melakukan reklamasi untuk memperluas daratan. Dengan sadar persoalan tanah mereka atur dengan sangat disiplin dan ketat. Eksistensi bangsa ini tergantung bagaimana mereka merawat tanah yang tak seberapa mereka punya. Kanal, selokan air, bendungan kecil dan besar, teratur rapi membelah setiap jengkal tanah yang mereka punya.

Belanda hingga saat ini adalah negara paling padat dalam ukuran per meter persegi, dan pengaturan tanahnya adalah yang paling teratur di muka bumi.

Namun seberapa pun mereka mencoba, seberapa pun disiplinnya, tanah tidak akan pernah cukup tersedia.

Lalu apa yang dilakukan?

Jawabnya ada di daya khayal, di benak, di alam abstraksi. Di samping secara fisik mereka mencoba memperluas wilayah darat mereka, mereka juga menciptakan ruang yang luas dialam khayal mereka.

Kalau Anda kebetulan datang ke Eropa, bandingkanlah tata kota Belanda dengan negara lain. Kita akan segera sadar bahwa Belanda memang lebih sempit tapi tata kotanya dibuat sedemikian rupa rapi, sehingga terasa sangat longgar. Dibanding negara manapun di dunia, tata kota di Belanda adalah yang paling kompak di dunia.

Arsitektur bangunannya, baik yang tua maupun modern, terasa sangat inovatif, dengan sudut yang sering tidak normal, bentuk bangunan yang tidak umum, aneh, tetapi kesannya selalu sama—longgar dan lapang. Karena semua lekuk ketidaknormalan adalah bagian dari upaya untuk menciptakan ruang tambahan di alam khayal tadi.

Bahkan benak juga dilonggarkan untuk urusan norma sosial. Kalau etika Protestan semarak di Belanda di awal kelahirannya, sangatlah bisa dimengerti. Mereka secara instingtif akan memberontak terhadap segala sesuatu yang sifatnya mengukung. Dalam kasus kelahiran Protestan tentu saja pemberontakan atas kungkungan ajaran Katolik saat itu.

Proses itu terus berlanjut hingga sekarang. Kita tahu norma sosial Belanda adalah yang paling longgar di Eropa. Kelonggaran yang tetap diatur. Misalnya, mainlah ke Vondell Park di Amsterdam, bolehlah Anda menghisap ganja atau mariyuana dengan santai. Padahal di negara lain sembunyi-sembunyi pun Anda tidak boleh.

Jejak-jejak spatial neurotic ini bisa kita temukan dengan mudah di karya-karya seni mereka bahkan di kehidupan politik, tetapi kembali ke persoalan sepakbola, mentalitas pemain sepakbola juga sama persis. Ketika mereka turun ke lapangan, benak mereka selalu bermain-main dengan keinginan untuk menciptakan ruangan selonggar mungkin, lalu mengeksploitasinya.

Ketika Rinus Michel membawa Ajax menjadi juara Piala Champions tahun 1971, Eropa tersadarkan sebuah sistem baru yang mulai sempurna telah lahir. Sistem yang lahir dari psyche orang Belanda yang tergila-gila dengan ruang dan pemanfaatannya. Dan ketika Michel membawa Belanda ke final Piala Dunia 1974 lahirlah istilah Total Football.

Total Football sendiri sebenarnya meminjam penamaannya dari gerakan sosial yang digagas para arsitek-filosof terkemuka Belanda sekitar tahun 1970-an. Sebuah gerakan bernama Total. Memahami kehidupan perkotaan secara menyeluruh: mengatur urbanisasi, lingkungan, dan pemanfaatan energi dalam satu totalitas. Agar ruang yang tersedia di Belanda bisa termanfaatkan secara maksimal. Dan sepakbola adalah sebuah hiburan bagian dari pendekatan yang menyeluruh itu. Totalitas. Namanya: Total Football.



*Oleh: Aulia Fikri__Dari berbagai Sumber


[ Selengkapnya...]
Label:

Search

Tentang Saya

Foto Saya
Heru Perdana
Menulis adalah sarana pembebasan jiwa
Lihat profil lengkapku

Add Me on Facebook

Download

Download ebook gratis Download ebook gratis

Blog Info

free counters
Powered by  MyPagerank.Net

Followers